FILOSOFI  NEGARA  KESEJAHTERAAN  YANG DIRUMUSKAN  DALAM  PANCASILA DAN PEMBUKAAN UNDANG – UNDANG  DASAR 1945

Uncategorized

Mystic morning

FILOSOFI  NEGARA  KESEJAHTERAAN  YANG DIRUMUSKAN  DALAM  PANCASILA
DAN PEMBUKAAN UNDANG – UNDANG  DASAR 1945
  1. HUBUNGAN PEMBANGUNAN HUKUM DENGAN TUJUANMEWUJUDKAN NEGARA KESEJAHTERAAN DALAM  NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA.

 

ad. 1. Hakekat Negara Kesejahteraan

       Pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak untuk terus menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggara negara yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945 (The national development is reflection of willing to increase continually the Indonesians’ prosperity which is just and well – distributed, to develop a social life and to carry out a developed and democratic country based on Pancasila and 1945 Constitution). Istilah demokratis dalam hal ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan suatu bentuk pemerintahan dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan seluruh warga negaranya memiliki hak – hak  yang setara untuk berpartisipasi baik secara langsung maupun melalui perwakilan dalam proses pengambilan kebijakan atau pembuatan keputusan politik (political decision making). Proses pengambilan kebijakan atau keputusan politik dalam konteks kebijakan legislasi yang dimaksudkan adalah kebijakan pemerintah untuk membuat peraturan perundang – undangan sebagai instrumen dalam rangka mengelola sumber daya alam mineral dan batubara dalam mengejawantahkan / mewujudkan  tujuan negara kesejahteraan sesuai dengan cita – cita bangsa Indonesia.

       Cita – cita membangun  “masyarakat adil dan makmur” yang menjadi mission sacre bangsa kita, merupakan salah satu contoh bagaimana komitmen universal atas keadilan sosial  ini juga menjadi komitmen para pendiri Indonesia. Kalimat terakhir Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 jelas – jelas mengamanatkan hal itu: “… dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Keadilan sosial telah menjadi moral politik yang melandasi semua langkah kita sebagai bangsa dalam mengelola ekonomi – politik negara[1].

       Keadilan sosial juga menjadi prinsipil, karena realitas politik di sepanjang sejarah jatuh – bangunnya bangsa – bangsa di dunia mengajarkan kita bahwa kekuatan paling dahsyat yang bisa memporak – porandakan bangunan masyarakat sebagai suatu bangsa adalah ketidakadilan sosial. Ketidakadilan sosial telah memainkan peranan dalam memperkuat dimensi – dimensi radikal dan destruktif suatu ideologi. Pemberontakan, kekacauan, bahkan revolusi di banyak belahan dunia menemukan alasannya pada ketidakadilan sosial sebagai pembenar[2].

       Hukum merupakan alat (tool) yang harus dijadikan sebagai sarana (instrument) untuk membangunan masyarakat dalam rangka mewujudkan negara kesejahteraan. Dasar pemikiran (basic of thinking)  konsep tersebut adalah bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaharuan mutlak diperlukan, oleh karena itu hukum diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan itu.

      Pembangunan ialah suatu proses perubahan individu / kelompok dalam kerangka mewujudkan peningkatan kesejahteraan hidup, yang juga sebagai paradigma perkembangan yang terjadi dengan berjalannya perubahan peradaban hidup manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Pembangunan sebagai suatu sistem yang kompleks mengalami proses perubahan dari yang sederhana sampai dengan yang rumit / kompleks. Proses perubahan tersebut mengalami perkembangan perubahan cara pandang, beberapa cara pandang tersebut adalah pertumbuhan, perubahan struktur,  ketergantungan, pendekatan sistem, dan penguasaan teknologi.

       Cita negara berdasarkan hukum, di mana masyarakatnya merupakan self regulatory society. Dengan demikian, pemerintah sudah dapat mereduksi perannya sebagai pembina dan pengawas implementasi visi dan misi bangsa dalam seluruh sendi – sendi  kenegaraan melalui pemantauan terhadap masalah-masalah hukum yang timbul dan menindaklanjuti keluhan – keluhan  masyarakat dan sebagai fasilitator yang baik. Dengan pengembangan sistem informasi yang baik, kegiatan pemerintahan menjadi lebih transparan, dan akuntabel, karena pemerintah mampu menangkap  feedback  dan  meningkatkan peran serta masyarakat.

       Penegakan hukum dalam hubungannya dengan pembangunan hukum adalah pelaksanaan semua ketentuan hukum dengan konsisten tanpa memandang subjek dari hukum itu. Prinsip penegakan hukum (law enforcement) mewujudkan adanya penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa kecuali, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (basic rights)  dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Begitu pula, pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya harus mendukung tegaknya supremasi hukum (supremacy of law) dengan melakukan berbagai penyuluhan peraturan perundang – undangan   dan menghidupkan kembali nilai – nilai  (values) dan norma – norma  (norms) yang berlaku di masyarakat. Selain  itu,  Pemerintah  Daerah perlu mengupayakan Peraturan Daerah (Perda) yang bijaksana dan efektif, serta didukung penegakan hukum yang adil dan tepat. Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DRPD) maupun masyarakat perlu menghilangkan kebiasaan yang dapat menimbulkan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN).

      Gerakan transparansi untuk mewujudkan prinsip – prinsip good governance, yakni adanya transparansi pertanggungjawaban kepada rakyat dan partisipasi, harus menjadi bagian demokratisasi sistem politik ekonomi. Dalam hal ini yang paling mendasar perlu adanya tekanan secara besar – besaran dari rakyat untuk reformasi hukum ketatanegaraan dan konstitusi untuk memperkecil monopoli dan diskresi kekuasaan politik dari tangan Presiden,  sehingga dimungkinkan terjadinya pembagian kekuasaan, pembatasan, dan penyeimbangan di dalam sistem politik [3].

       Transparansi adalah keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Prinsip transparansi menciptakan kepercayaan timbal – balik  antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Selain itu, Pembangunan hukum untuk mewujudkan negara  kesejahteraan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus diperhatikan pula kepentingan sosial / masyarakat (social interest) secara merata dan menyeluruh.

      Beberapa  indikator yang dapat digunakan untuk mengukur transparansi, yaitu; (a) bertambahnya wawasan, pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan, (b) Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan, (c) meningkatnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam pembangunan daerahnya,  dan (d) berkurangnya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.

       Konsep Roscoe Pound tentang kepentingan sosial merupakan upaya yang lebih eksplisit untuk menciptakan suatu model hukum yang responsif. Dalam perspektif ini hukum yang baik harus menawarkan sesuatu yang lebih dari keadilan prosedural.  Hukum itu harus berkemampuan fair (adil, memberi kesempatan yang sama); hukum itu harus membantu menentukan kepentingan masyarakat dan komited pada tercapainya keadilan yang substansial (hakiki)[4].

       Namun, bentuk tatanan hukum yang responsif  ini sulit diwujudkan, lebih daripada suatu ide abstrak, bagaimana suatu  institusi – institusi dan birokrasi sangat rentan karena banyaknya perilaku – perilaku melanggar hukum, pengaruh ilmu dan teknologi yang terus berkembang  seiring perkembangan kejahatan, semakin canggih teknologi, semakin canggih modus operandi kejahatan. Kondisi politik (partisipasi politik) akan menjadi sangat menentukan terutama dalam kaitannya dalam penyelenggaraan keadilan dan ketertiban bagi rakyat, karena dari konteks tatanan hukum yang represif telah ditunjukkan bagaimana otoriternya kekuasaan ini, sehingga pelaksanaan hukum di masyarakat memerlukan syarat – syarat yang relatif besar, seperti pemaksaan, mematikan kreativitas dan pola pikir  dan biaya – biaya lain yang pada akhirnya merugikan hukum dan masyarakat, masyarakatlah yang harus menanggung. Oleh karena itu,  model yang cukup ideal apabila dilaksanakan adalah tatanan hukum yang Otonomius, karena tidak dapat disangkal bahwa tatanan hukum ini memberikan kemungkinan untuk mewujudkan ketertiban institusional yang stabil dan tahan lama, tentu saja dengan segala faktor positif dan negatifnya, suatu bentuk hukum sebagai institusi yang dirancang untuk mampu melunakkan represi dan melindungi integritasnya sendiri, karena hukum responsif memiliki kelemahan pula, bahwa konsep hukum responsif  kurang mantap dan sangat rentan, apabila melihat kondisi – kondisi yang berlangsung dewasa ini, mengingat kelemahan – kelemahan  dan sangat rapuhnya jaringan penunjang untuk mewujudkan tatanan hukum tersebut[5].

        Perihal yang sangat erat kaitannya dengan tranfaransi untuk kepentingan sosial yaitu  informasi, yang merupakan  suatu kebutuhan penting masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut Pemerintah Daerah perlu proaktif memberikan informasi lengkap tentang kebijakan dan layanan yang disediakannya kepada masyarakat. Pemerintah Daerah perlu mendayagunakan berbagai jalur komunikasi seperti melalui brosur, leaflet, pengumuman melalui koran (surat kabar), radio serta televisi (media elektronik) maupun media informasi lainnya. Pemerintah Daerah perlu menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara masyarakat untuk mendapatkan informasi. Kebijakan ini akan memperjelas bentuk informasi yang dapat diakses masyarakat ataupun bentuk informasi yang bersifat rahasia, bagaimana cara mendapatkan informasi, lama waktu mendapatkan informasi serta  prosedur pengaduan apabila informasi tidak sampai kepada masyarakat.

      Selain itu perlu adanya akuntabilitas, yaitu kemampuan untuk mempertanggungjawabkan semua tindakan dan kebijakan yang telah ditempuh. Prinsip ini mengandung makna meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Seluruh pembuat kebijakan pada semua tingkatan harus memahami kebijakan yang diambil harus dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat. Untuk mengukur kinerja secara obyektif perlu adanya indikator yang jelas. Sistem pengawasan perlu diperkuat dan hasil audit harus dipublikasikan, dan apabila terdapat kesalahan harus diberi sanksi. Dengan demikian, pemerintah akan terhindar dari praktek – praktek maladministasi  dalam menjalankan fungsi pelayanan publik.

              Konsep maladministrasi pertama kali diintrodusir tahun 1967, ketika pemerintah Inggris membentuk Parliamentary Commission for Administrasion (the ombudsman). Maladminsitrasi dikaitkan dengan tindakan menyimpang dari aparat; yang tidak mengindahkan atau tidak mengikuti norma – norma perilaku yang baik. The Commission menyatakan: bad decisions  are bad adminstrastion and bad administration is maladministration …. bad decision goes the bad rule, fallacy statutory regulation (Sir William Wade, 2000, h.97)[6].

       Menelaah arti kata maladministrasi, berasal dari bahasa Latin  ”malum”  yang artinya jahat (jelek). Istilah administrasi sendiri dari bahasa Latin  administrare  yang berarti melayani. Kalau dipadukan kedua istilah tadi berarti pelayanan yang jelek, sedangkan pelayanan itu dilakukan oleh pejabat publik. Maladministration may be  described as, administrative action (or inaction) based  on influenced by improper  considerations or conduct[7].

       Maladministrasi menyoroti perilaku (behaviour) aparat dalam melaksanakan tugas pemerintahan, maupun dalam kaitan tugas pelayanan publik, oleh karena itu ukuran tindakan dikaitkan dengan norma – norma perilaku aparat. Harus dibedakan antara norma perilaku aparat dengan norma pemerintahan. Norma perilaku aparat ditujukan untuk tindakan yang dapat dikualifikasikan sebagai tindakan maladministrasi, sedangkan norma pemerintahan  ditujukan untuk suatu legalitas tindakan pemerintahan.

       Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, menentukan: Pelaksanaan dalam menyelenggarakan pelayanan publik harus berprilaku sebagai berikut:

  1. Adil dan tidak diskriminatif;
  2. Cermat;
  3. Santun dan ramah;
  4. Tegas, andal, dan tidak memberikan keputusan yang berlarut – larut;
  5. Profesional;
  6. Tidak mempersulit;
  7. Patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar;
  8. Menjunjung tinggi nilai – nilai akuntabilitas dan integritas institusi penyelenggara;
  9. Tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan sesuai dengan peraturan perundang – undangan;
  10. Terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan kepentingan;
  11. Tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan publik;
  12. Tidak memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam menanggapi permintaan informasi serta proaktif dalam memenuhi kepentingan masyarakat;
  13. Tidak menyalahgunakan informasi, jabatan, dan / atau kewenangan yang dimiliki;
  14. Sesuai dengan kepantasan;
  15. Tidak menyimpang dari prosedur;

Dalam konteks ini, maka yang menjadi relevan untuk dicermati adalah perilaku pemerintah untuk  “adil dan tidak diskriminatif”  serta “proaktif dalam memenuhi kepentingan masyarakat” semata – mata demi tercapainya tujuan negara kesejahteraan. Perilaku pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang diatur oleh Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik tersebut, sangat sesuai dengan asas kepastian hukum yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang – undangan yang berlaku, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan, serta asas akuntabilitas yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku, dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance).

Diskresi, discretion (Inggris), discretion (Prancis), freies Ermessen (Jerman) adalah kebebasan bertindak atau mengambil keputusan dari para pejabat Administrasi Negara yang berwenang dan berwajib menurut pendapat sendiri. Diskresi diperlukan sebagai pelengkap dari Asas Legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan Administrasi Negara harus berdasarkan ketentuan undang – undang. Akan tetapi tidak mungkin bagi undang – undang untuk mengatur segala macam kasuspositie dalam praktik kehidupan sehari – hari. Oleh sebab itu perlu adanya “kebebasan” atau diskresi dari Administrasi Negara yang terdiri dari “Diskresi Bebas” dan “Diskresi Terikat”. Pada “diskresi bebas” undang – undang hanya menetapkan batas – batas, dan administrasi negara bebas mengambil keputusan apa asalkan tidak  melampaui / melanggar batas – batas tersebut. Pada “diskresi terikat” undang – undang menetapkan beberapa alternatif, dan Administrasi Negara bebas memilih salah satu alternatif[8].  Namun demikian, diskresi tidak boleh digunakan apabila bertentangan dengan Asas – Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) yang diadaptasi oleh pemerintah Indonesia sebagai prinsip untuk mewujudkan negara kesjahteraan.

Welfare state adalah gagasan yang telah lama lahir, dirintis oleh Prusia di bawah Otto von Bismarck sejak 1850 – an. Dalam Encyclopedia Americana disebutkan bahwa welfare state adalah “a form of government in which the state assumes responsibility for minimum standards  of living for every person” (bentuk pemerintahan dimana negara dianggap bertanggung jawab untuk menjamin standard hidup minimum setiap warga negaranya). Gagasan negara kesejahteraan itu,  di Eropa dan Amerika di masa lampau, berbenturan dengan konsepsi negara liberal kapitalistik. Namun kemudian sejarah mencatat bahwa benturan dan gagasan besar itu telah menghasilkan negara – negara makmur dan rakyatnya hidup sejahtera, seperti di Amerika Utara dan Eropa Barat[9].

Sudah lebih dari 60 tahun Republik Indonesia diproklamasikan sebagai negara kebangsaan dan negara kesejahteraan. Namun wujud negara kesejahteraan itu belum tampak. Bahkan kita menyaksikan dengan prihatin proses komersialisasi yang meluas dan cepat di bidang pendidikan dan kesehatan seiring makin terbatasnya APBN. Di tengah keterbatasan pemerintah menciptakan lapangan kerja dan menaikkan daya beli rakyat, kondisi ini amat menyakitkan kelompok rakyat yang tidak berpunya[10].

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa negara kesejahteraan (welfare state) adalah negara yang menganut sistem ketatanegaraan dengan menitik beratkan perhatian  pada kepentingan kesejahteraan warganegaranya. Tujuan dari negara kesejahteraan bukan untuk menghilangkan perbedaan dalam ekonomi masyarakat, tetapi memperkecil kesenjangan ekonomi dan semaksimal mungkin menghilangkan kemiskinan dalam masyarakat. Adanya kesenjangan (gap) yang lebar antara masyarakat kaya (the have / the rich) dengan masyarakat miskin (the poor) dalam suatu negara tidak hanya menunjukkan kegagalan negara tersebut didalam mengelola keadilan sosial, tetapi kemiskinan yang akut dengan perbedaan penguasaan ekonomi yang mencolok akan menimbulkan dampak buruk dalam segala segi kehidupan masyarakat. Dampak tersebut akan dirasakan mulai dari rasa ketidakberdayaan masyarakat miskin dalam berbagai bidang, hingga berdampak buruk pada penyelenggaraan sistem demokrasi.

Konsep negara kesejahteraan (welfare state) yaitu berupaya untuk memperkecil jurang pemisah / kesenjangan kondisi ekonomi dalam kehidupan masyarakatnya  melalui berbagai usaha pelayanan kesejahteraan warganegaranya. Dalam konsep negara kesejahteraan yang mengutamakan untuk mengurusi secara langsung kesejahteraan rakyatnya, membawa akibat bahwa  negara kesejahteraan menjadi negara yang memasuki sangat banyak segi kehidupan rakyat, mulai dari soal pendidikan, jaminan sosial, jaminan kesehatan, dan sebagainya. Pemerintah sebagai alat negara, makin lama makin dipaksa untuk menerima tanggung jawab positif atas penciptaan dan distribusi kekayaan demi terciptanya keadilan sosial secara merata. Sejalan dengan pelaksanaan tanggung jawab tersebut perlu dilakukan pembangunan hukum untuk mengatur dan mengendalikan berbagai kepentingan masyarakat pada satu sisi dan pedoman pemerintah (pusat dan daerah) untuk menjalankan fungsinya sebagai pemegang peranan dalam rangka mewujudkan negara kesejahteraan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

ad.2. Kewajiban dan Tanggung jawab Pemerintah untuk Mewujudkan Kesejahteraan bagi  rakyat Indonesia.

       UUD 1945 menganut paham kedaulatan rakyat Indonesia yang mencakup baik aspek demokrasi politik maupun aspek demokrasi ekonomi. Berdasarkan kedua doktrin demokrasi tersebut, sistem sosial di Indonesia dapat dikembangkan menurut prinsip – prinsip demokrasi yang seimbang, sehingga menumbuhkan kultur demokrasi sosial yang kokoh. Dalam paham demokrasi sosial (social democracy), negara berfungsi sebagai alat kesejahteraan (wefare state). Meskipun gelombang liberalisme dan kapitalisme terus berkembang dan mempengaruhi hampir seluruh kehidupan manusia, namun juga terjadi penyesuaian dengan elemen – elemen konstruktif dari sosialisme dalam bentuk market socialism[11].

       Mengenai pengertian tujuan / tugas pemerintahan itu berbeda sekali kalau kita bandingkan perkembangannya dari dahulu hingga sekarang. Kalau dahulu tugas / tujuan pemerintahan itu hanya membuat dan mempertahankan hukum atau dengan kata lain: hanya menjaga ketertiban dan ketenteraman  (orde en rust) saja. Tetapi sekarang tujuan / tugas pemerintahan tidak hanya melaksanakan undang – undang (leges executio) – menurut Maurice Duverger dan Hans Kelsen – atau untuk merealisir kehendak negara (Staatswil; general will) – Jellinek, tetapi lebih luas lagi dari itu, yaitu menyelenggarakan kepentingan umum (service publique, public service) – demikian antara lain Kranenburg dan Malezieu[12].

       Rumusan tujuan pemerintahan menurut aline IV Undang – Undang Dasar 1945 adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

       Tugas penyelenggaraan kepentingan umum (public service) itu dijalankan oleh alat pemerintahan (bestuurorgaan =  administratief orgaan) yang bisa berwujud:

  1. seorang petugas (fungsionaris) atau badan pemerintahan yang berdasarkan peraturan undang – undang diberi kewenangan untuk menyatakan kehendakpemerintah c.q. penguasa (wil v/h openbaar gezag). Dus yang dilengkapi dengan kewenangan (berwenang) melakukan tindakan – tindakan (tindak – pangreh), yang mengikat hukum (persoon of college met enig openbaar gezag bekleed);
  2. badan pemerintahan (openbaar lichaam)yaitu kesatuan hukum yang dilengkapi dengan alat – alat / kewenangan memaksa (coersive) (“de met wereldlijk  overheidsgezag en physike dwangmiddelen toegeruste gemeenschappen”)[13].

       Bila pemerintahan adalah demi untuk mereka yang diperintah dan bukan demi yang memerintah, maka semua aktivitasnya pada umumnya hanya ditujukan pada kesejahteraan umum. Tentu saja tidak satu kategori fungsi dapat dipisahkan sebagai sesuatu yang khusus tertuju untuk hal itu. Pemeliharaan ketertiban dan pelaksanaan keadilan sama pentingnya bagi kesejahteraan seperti juga pemapanan  jaminan sistem ekonomi. Karena itu, bila kita berbicara tentang “fungsi – fungsi kesejahteraan umum”, kita mengucapkan ungkapan itu dalam arti yang khusus. Kita masukkan kedalamnya apa saja yang dikerjakan pemerintahan yang langsung ditujukan pada perbaikan kondisi dimana rakyat hidup dan bekerja, apa yang dilakukannya untuk kesehatan dan keamanan, untuk perumahan dan kehidupan yang layak, untuk jaminan sosial dan ekonomi dan sebagainya[14].

       Pemerintah mrmpunyai tanggung jawab dan dan tugas untuk memberdayakan masyarakat dalam mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan. Melalui pelaksanaan otonomi daerah dapat dirumuskan kebijakan-kebijakan daerah yang mengandalkan kondisi dan potensi daerah masing-masing guna meningkatkan pelayanan publik, kesejahteraan masyarakat dan daya saing daerah atas perubahan lingkungan strategis. Pada hakekatnya, tujuan kesejahteraan mengisyaratkan Pemerintah maupun Pemerintah Daerah untuk menyediakan pelayanan  publik bagi rakyat Indonesia dan masyarakat lokal secara efektif, efisien dan ekonomis.

       Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2008 Tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan,  merupakan salah satu contoh negara telah menjadi alat hisap Kapitalisme. Dalam Peraturan Pemerintah ini, negara memberikan kesempatan luas kepada perusahaan – perusahaan        tambang untuk melakukan kegiatan tambang di kawasan hutan lindung. Akibatnya perusahaan tambang batubara memiliki kesempatan luas dan legal untuk melakukan kegiatan pertambangan walaupun di kawasan hutan lindung. In concreto,  kawasan hutan lindung di Indonesia khususnya daratan Kalimantan menyimpan kekayaan barang tambang yang sangat melimpah. Hal ini menjadi masalah utama negara kita yang tidak memiliki “visi” bagaimana memanfaatkan sumber daya alam batubara untuk kepentingan rakyat. Negara justru menjadi alat Kapitalisme untuk menghisap dan mengeksploitasi kekayaan nasional tersebut. Selain problem pemerintahan yang tidak memiliki visi untuk rakyat (laisses faire – pro  Kapitalis), negara kita juga melakukan kesalahan fatal dengan menjadikan sumber daya alam yang melimpah dan strategis sebagai kepemilikan yang dapat dikuasai oleh swasta dan asing. Implikasinya yaitu terjadi  eksploitasi batubara untuk kebutuhan dalam negeri maupun untuk ekspor, dimana  hasilnya tidak dinikmati oleh rakyat rakyat tetapi semata – mata hanya menguntungkan pihak  swasta  (lokal dan asing).

       Terbaliknya fungsi, kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah saat ini telah menimbulkan kerusakan lingkungan dan sia – sianya  pengelolaan kekayaan sumber daya alam mineral dan batubara yang tidak tepat sasaran  bagi  kesjahteraan rakyat. Liberalisasi ekonomi dengan memindahkan penguasaan dan pemanfaatan tambang mineral dan batubara kepada perusahaan tambang serta membatasi peran  negara hanya sebagai alat untuk melegalisasi (menjustifikasi) kepentingan swasta selaku pemilik modal adalah sebab utama hilangnya fungsi negara. Dalam hal ini dapat dikatakan pemerintah sebagai  pengelola negara telah melakukan penyalahgunaan hak ( misbruik van recht) dengan mengabaikan peri kehidupan dan kesjahteraan rakyat.  Krisis tambang mineral dan  batubara yang terjadi di Indonesia, pada dasarnya  disebabkan oleh tidak optimalnya pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab  pemerintah untuk mengelola tambang mineral dan batubara,  dalam rangka  mewujudkan kesejahteraan rakyat dan kepentingan negara. Kesalahan tata kelola ekonomi yang menyerahkan kepemilikan dan penguasaan tambang kepada pemilik modal, mengakibatkan negara seolah – olah  menjadi subordinasi pemilik modal dan tunduk pada kepentingan – kepentingan  Kapitalisme global.

       Kondisi sosio – politik  suatu negara akan sangat mempengaruhi kinerja dunia usaha. Kebijakan yang berubah akan sangat berpengaruh pada situasi yang ada, begitu juga dengan stabilitas keamanan sebuah negara hingga implementasi kebijakan dan penegakkan hukumnya.  Dalam tataran demikian, birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat modern yang keberadaannya sangat penting dalam menjalankan tugas pemerintahan untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurzorg). Eksistensi birokrasi ini  sebagai konsekwensi logis dari kewajiban dan tanggung jawab  Pemerintah untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat (social wefare). Pemerintah (pusat maupun daerah) dituntut terlibat dalam memproduksi barang dan jasa yang diperlukan oleh rakyatnya  (public goods and services) baik secara langsung maupun tidak langsung, bahkan dalam keadaan tertentu negara yang memutuskan apa yang terbaik bagi rakyatnya. Semata – mata demi mewujudkan kemakmuran / kesejahteraan rakyat, maka Pemerintah menyelenggarakan suatu sistem administrasi (birokrasi) yang bertujuan untuk melayani kepentingan rakyat.

       Menurut Weber, “Birokrasi adalah sebagai salah satu sistem otorita yang ditetapkan secara rasional oleh berbagai peraturan”. Dengan demikian birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisasi secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan banyak orang. Sejalan dengan pendapat Weber, Blau dan Page memformulasikan “birokrasi sebagai tipe dari organisasi, dimaksudkan untuk mencapai tugas – tugas administratif  besar dengan cara mengkoordinasikan secara sistematika pekerjaan orang banyak”[15].

       Pada hakekatnya pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia mengacu pada konsep negara kesejahteraan. Dalam sila kelima Pancasila serta Undang-Uundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menekankan bahwa prinsip keadilan social mengamanatkan tanggung jawab pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Pembangunan dalam bidang sosial ekonomi sebagai salah satu pelaksanaan kebijakan Pembangunan Nasional yang mendapat perhatian utama dari pemerintah dengan harapan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kemakmuran dan kesejahteraan tersebut yang merupakan tujuan Pembangunan Nasional harus dapat  dinikmati secara adil, berkelanjutan, merata bagi seluruh rakyat Indonesia, oleh karena itu Pemerintah harus dapat menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya sesuai dengan amanat konstitusi.

ad.3. Hubungan Hak Penguasaan Negara dengan Kedudukan dan Kewenangan Pemerintah.

       Dalam kedudukannya sebagai pemegang kuasa pertambangan dengan kewenangan melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, berdasarkan ketentuan Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara maka pemerintah tidak melaksanakan sendiri kewenangan tersebut.  Pemerintah menyerahkan kewenangan tersebut kepada badan pelaksana, yang kemudian  berdasarkan KKS diserahkan lebih lanjut kepada badan usaha atau bentuk usaha tetap sebagai pelaksana kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.  KKS merupakan suatu bentuk perjanjian dalam kegiatan usaha hulu yang melibatkan dua pihak yaitu Badan Pelaksana sebagai pelaksana kuasa pertambangan yang dipunyai oleh pemerintah dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap berkenaan dengan pelaksanaan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam mineral dan batubara[16].

       Orang, baik badan hukum dan perorangan  yang diberi akses mengusahakan  sumber daya mineral dan batubara harus dilandaskan pada ijin tertentu. Hubungan hukum antara orang dengan mineral dan batubara tersebut menurut UU Minerba sudah tidak dimungkinkan lagi didasarkan pada Kontrak Karya sebagaimana yang telah ada selama ini. Namun demikian, Kontrak Karya yang telah ada berlaku pada saat diundangkannya UU Minerba tetap berlaku sampai berakhirnya Kontrak Karya[17].

       UU Minerba menempatkan sumber daya mineral dan batubara sebagai kekayaan bangsa Indonesia, yang dikuasai oleh negara untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini ditegaskan dalam pasal 4 bahwa sumber daya mineral dan batubara  merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat. Istilah kekayaan nasional mempunyai makna bahwa sumber daya mineral dan batubara merupakan kepunyaan dari seluruh bangsa Indonesia. Dalam kerangka pengaturan pengelolaannya, bangsa menyerahkannya kepada negara untuk lebih efektifnya pencapaian kemakmuran rakyat[18].

       Konsep pemegang kuasa pertambangan dengan kewenangan melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sebagaimana yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, tidak dapat dipisahkan dengan hak penguasaan atas tanah. Berkaitan dengan hak penguasaan atas tanah oleh negara,  pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung  di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat. Aturan (kaidah hukum) yang dirumuskan dalam ketentuan pasal 33 UUD 1945 ini  secara konstitusional merupakan landasan hukum bagi negara atas hak agraria  atau hak penguasaan atas tanah.

       Secara khusus, ketentuan – ketentuan  pokok tentang pertanahan di Indonesia diatur dalam  Undang – Undang  Nomor  5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria  (Lembaran Negara Republik Indonesia  Tahun 1960 Nomor 104 – Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia  Nomor  2043), atau yang lebih dikenal dengan sebutan Undang – Undang   Pokok Agraria (UUPA). UUPA berlaku sejak tanggal 24 September 1960 dan sejak saat itu dianggap mulai berlaku Hukum Tanah Nasional di Indonesia. Tujuan pembentukan Undang Undang Pokok Agraria  adalah untuk kemakmuran rakyat, yang sesuai dengan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Undang – Undang Dasar 1945, yaitu terwujudnya kesejahteraan rakyat.

       Ruang lingkup agraria dalam Undang – Undang Pokok Agraria  meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ruang lingkup bumi meliputi permukaan bumi (tanah), tubuh bumi, dan ruang yang ada di bawah permukaan air. Dengan demikian, tanah merupakan bagian kecil dari agraria. Tanah yang dimaksudkan disini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis, yang disebut hak penguasaan atas tanah. Hak penguasaan atas tanah tersebut berisi serangkaian kewenangan, kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dimiliki sebagai hak. Sesuatu yang boleh, wajib, atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok ukur pembeda di antara hak – hak  penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah. Dalam hak penguasaan atas tanah terdapat kewenangan yang dapat dilakukan, kewajiban yang harus dilakukan, dan larangan yang tidak boleh dilakukan bagi pemegang haknya.

       Tujuan dari hak menguasai oleh negara adalah untuk kepentingan sebesar – besarnya bagi kemakmuran rakyat. Berdasarkan tujuan tersebut, maka setidak – tidaknya perlu ada larangan – larangan yang tidak boleh dilanggar, yaitu:

  1. Apabila dengan itikad baik tanah – tanah telah dikuasai dan dimanfaatkan oleh rakyat, maka kenyataan itu harus dihormati dan dilindungi. Keberadaan rakyat di tanah – tanah tersebut merupakan salah satu penjelmaan dari tujuan kemakmuran rakyat. Rakyat harus mendapat hak didahulukan daripada occupant baru yang menyalahgunakan formalitas – formalitas hukum yang berlaku.
  2. Tanah yang dikuasai negara tetapi tetapi telah dimanfaatkan rakyat dengan itikad baik (ter goeder trouw) hanya dapat dicabut atau diasingkan dari mereka, semata – mata untuk kepentingan umum, yaitu untuk kepentingan sosial dan atau kepentingan negara.
  3. Setiap pencabutan atau pemutusan hubungan hukum atau hubungan konkret yang diduduki atau dimanfaatkan rakyat dengan itikad baik, harus dijamin tidak akan menurunkan status atau kualitas hidup mereka karena hubungan mereka dengan tanah tersebut (Manan, 2004: 230)[19].

       Berdasarkan logika diatas, maka semestinya makna dikuasai ole negara mengandung pengertian  sebagai berikut:

  1. Hak (negara) itu harus dilihat sebagian titesis dari asas domeinyang memberi wewenang kepada negara untuk melakukan tindakan kepemilikan yang bertentangan dengan asas kepunyaan menurut adat istiadat. Hak kepunyaan didasarkan pada asas komunal dan penguasa hanya sebagai pengatur belaka;
  2. Hak menguasai oleh negara tidak boleh dilepaskan dari tujuan yaitu demi sebesar – besarnya kemakmuran rakyat. Negara harus memberikan hak terdahulu kepada rakyat yang telah secara nyata dan dengan itikad baik memanfaatkan tanah.

 Sedangkan, ketentuan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sangat luas, karena benda – benda apa saja yang merupakan  kekayaan alam yang ada di permukaan bumi dan di dalam bumi sudah diatur penguasaan dan peruntukannya. Sehubungan dengan itu mengenai pertambangan, dalam pasal 4 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2009 disebutkan, mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar – besarnya kesejahteraan rakyat. Penguasaan kekayaan alam tersebut oleh negara dalam hal ini diselenggarakan oleh pemerintah[20].

       Adapun pihak pemerintah yang mengurusi bidang pertambangan adalah kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Untuk tingkat daerah penguasaan dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Untuk kepentingan nasional, pemerintah dapat menetapkan kebijakan pengutamaan mineral dan / atau batubara untuk kepentingan dalam negeri setelah berkonsultasi dengan DPR. Kebijakan dapat dilakukan dengan pengendalian produksi dan ekspor. Dalam melaksanakan pengendalian, pemerintah mempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi tiap – tiap komoditas per tahun setiap provinsi. Pemerinatah Daerah mempunyai kewajiban untuk memathui ketentuan jumlah produksi sebagaimana yang ditetapkan oleh pemerintah[21].

       Pemahaman teoritik  kekuasaan negara atas sumber – sumber  kekayaan alam (bumi, air, dan ruang angkasa), bersumber dari rakyat yang dikenal hak bangsa. Pemerintah / negara  dipandang sebagai organisasi yang memiliki karakter lembaga masyarakat umum, sehingga kepadanya  diberikan  wewenang  atau kekuasaan untuk mengatur, mengurus, memelihara dan mengawasi pemanfaatan  seluruh potensi sumber daya yang ada dalam wilayahnya secara intensif, namun tidak sebagai pemilik, karena pemiliknya adalah bangsa Indonesia.  Adapun kaitan hak penguasaan negara untuk mewujudkan sebesar – besarnya kemakmuran rakyat, dengan kedudukan dan kewenangan Pemerintah adalah:

  1. Mengatur segala bentuk pemanfaatan bumi dan air serta hasil yang didapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
  2. Melindungi dan menjamin segala hak – hak rakyat yang terdapat  di dalam atau di atas bumi, air, dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan  secara langsung atau dapat dinikmati langsung oleh rakyat.
  3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.

     Sejalan dengan penguasaan pertambangan berada pada pemerintah maka pengelolaannya dilakukan pembagian wewenang dengan mengikuti tingkat kewenangannya, yaitu pemerintah tingkat pusat, rovinsi, kabupaten / kota[22].

A. Pemerintah Pusat

Pemerintah Pusat memiliki kewenangan mengelola pertambangan dengan ruang lingkup nasional, antara lain untuk melakukan tindakan sebagai berikut:

  1. penetapan kebijakan nasional;
  2. pembuatan peraturan perundang – undangan;
  3. penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria;
  4. penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan batubara nasional;
  5. penetapan wilayah pertambangan yang dilakukan setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat RepublikIndonesia;
  6. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan yang berada pada lintas wilayah provinsi dan / atau wilayah laut lebih dari12 (dua belas) mil dari garis pantai.

B. Pemerintah Provinsi

Untuk pemerintah provinsi ruang lingkup kewenangan pengelolaan sesuai dengan wilayah administrasinya, antara lain:

  1. pembuatan peraturan perundang – undangan daerah;
  2. pemberian izin usaha pertambangan, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan pada lintas wilayah kabupaten / kota dan / atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil;
  3. pemberian izin usaha pertambangan, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada pada lintas wilayah kabupaten / kota dan / atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil.

 

C. Pemerintah Kabupaten / Kota

Sedangkan untuk kewenangan Pemerintah Kabupaten / Kota dalam melakukan pengelolaan pertambangan meliputi wilayah administrasinya, antara lain:

  1. pembuatan peraturan perundang – undangan daerah;
  2. pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR), pembinaan, penyelesaiaan konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan di wilayah kabupaten / kota dan / atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;
  3. pemberian IUP dan IPR, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan usaha pertambangan operasi produksi yang kegiatannya berada di wilayah kabupaten / kota dan / atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil;
  4. penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian, serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara;
  5. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada wilayah kabupaten / kota;
  6. penyusuanan neraca sumber daya mineral dan batubara pada wilayah kabupaten / kota;
  7. pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam usaha pertambangan dengan memperhatikan kelestarian lingkunganl;

 

ad.4.   Tambang untuk kemandirian dan Kesejahteraan Rakyat.

       Industri pertambangan saat ini dalam persimpangan, beralih dari hanya mengandalkan sumber daya alam menjadi industri pada modal. Perlu dukungan modal sangat besar, dan diharapkan menghasilkan keuntungan dan efek ganda yang sangat besar. Penerapan aturan nilai tambah diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada pemasukan negara. Kebijakan legislasi dalam usaha pertambangan mineral dan batubara yang diatur dalam UU No.4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dapat dianggap sebagai suatu lompatan besar dalam meningkatkan level perusahaan pertambangan di Indonesia, keadaan demikian yang disebut revolusi industri pertambangan di Indonesia.

       Melalui pemasukan dan nilai tambah yang diperoleh oleh negara maka diharapkan dapat menciptakan kemandirian dalam dunia pertambangan mineral dan batubara di Indonesia, yang selanjutnya berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Salah satu kebijakan yang ditentukan dalam UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 yaitu pengusaha pertambangan harus mendirikan pabrik pengolahan, peleburan, dan pemurnian dalam negeri. Kebijakan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah menghendaki peningkatan nilai tambah dan penyediaan bahan baku untuk industri di dalam negeri, yang pada akhirnya akan membuat kemandirian industri tambang mineral dan batubara di Indonesia.

       Sebagai fakta ilmiah dapat dikemukan bahwa selama ini ekspor bijih besi meningkat luar biasa. Data Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa selama 4 (empat) tahun terakhir, sejak tahun 2008, ekspor bijih mineral Indonesia meningkat besar – besaran; Ekspor bijih nikel dari 4,1 juta ton menjadi 33 juta ton; bijih bauksit dari 7,8 ton menjadi 40 juta ton; dan bijih besi dari 1,8 juta ton menjadi  12, juta ton di tahun 2011. Padahal peningkatan nilai tambah memberikan keuntungan cukup besar, sebagai contoh, memberi nilai tambah sekitar US $ 81,15 juta untuk tiap 1 juta ton bauksit dan pengolahan lebih lanjut ke aluminium memberikan nilai tambah baru sekitar US $ 185 juta[23].   Dapat kita bayangkan apabila nilai tambah sebanyak itu, belum termasuk bahan mineral yang lain dipergunakan untuk peningkatan sebesar – besarnya  kesejahteraan rakyat Indonesia.

       Berkaitan dengan kenyataan tersebut, pemerintah mengeluarkan aturan yang memperkuat aturan sebelumnya yakni, Instruksi Presiden  Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Percepatan Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri, dan Peraturan Menteri Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Nilai Tambah dan Larangan Ekspor Produk Mineral Mentah. Pemerintah menyadari bahwa Indonesia mempunyai peluang besar untuk mengambil peran dan pengaruh yang lebih besar di pasar mineral dan batubara dunia. Indonesia memiliki cadangan laterit (oxide) terbesar nomor 4 di dunia. Indonesia memasok sekitar  7 % (tujuh persen) kebutuhan nikel dunia pada 2010, produsen tembaga terbesar  ke – 5 dengan memberi kontribusi 5 % (lima persen) produksi dunia[24].

       Kebijakan legislasi larangan ekspor komoditi bahan mentah mineral harus diterapkan agar Indonesia menjadi tuan di rumah sendiri dalam pemanfaatan sumber daya alam mineral dan batubara. Kebijakan tersebut menimbulkan efek domino yang sangat besar bagi ptogram pemerintah untuk menciptakan lapangan pekerjaan baik yang menyangkut tenaga operator maupun tenaga ahli, akan banyak Sarjana Teknik (Insinyur) Indonesia yang akan dipekerjakan.

       Ekonomi mineral membicarakan tentang  nilai dan biaya tambang, investasi modal jangka panjang, cadangan, distribusi, pemilikan dan aliran mineral secara internal serta berbagai faktor seperti terjadinya mineral, ketidakpastian cadangan dan penemuan, pengurangan, endapan, daur ulang dan persyaratan lingkungan tambang. Dibedakan cadangan mineral dengan sumberdaya mineral. Cadangan mineral adalah konsentrasi komoditi mineral yang dapat dimanfaatkan, yang dapat secara ekonomis dan hukumiah diproduksikan pada saat evaluasi. Sedangkan sumberdaya mineral meliputi endapan hipotetis, spekulatif, belum ditemukan, dan subekonomis atau endapan yang belum ditemukan dan tak diketahui nilai ekonomisnya[25].

       Negara Indonesia dikaruniai sumber daya alam dan energi yang melimpah. Potensi sumber daya dan cadangan mineral metalik tersebar di berbagai daerah dalam wilayah negara Indonesia bagian barat dan bagian timur.  Daerah – daerah yang memiliki potensi sumber daya alam tersebut, antara lain; bauksit dan batubara di pulau Kalimantan dan pulau Sumatera, tembaga dan emas di Papua, emas di Nusa Tenggara, nikel di sulawesi dan kepulauan Indonesia Timur,    serta masih banyak kandungan mineral lainnya yang tersebar di berbagai daerah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

       Negara / Pemerintah akan dianggap bersalah kepada rakyat  apabila Pemerintah gagal melindungi hak – hak rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan, padahal Undang – Undang  Dasar 1945 mengamanatkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terdapat didalamnya  dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, namun dalam tataran penerapannya bumi, air, dan kekayaan alam yang terdapat didalamnya tersebut  dikuasai oleh investor. Begitu pula, Undang – Undang  Nomor 32 tahun 2004 secra eksplisit memberikan ruang dan peluang sebesar – besarnya  kepada Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota untuk mengembangkan potensi yang ada serta sumber daya alam secara lebih baik semata-mata demi kepentingan dan kemajuan masyarakat, demi pembangunan daerah yang berkelanjutan dan demi kesejahteraan dan kemakmuran. Keberpihakan Pemerintah kepada investor tentu saja berpengaruh pada rasa tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat atau yang disebut dengan   corporate social responsibility (CSR) khususnya masyarakat lingkar tambang, yang dapat bersifat positif  atau  negatif.

       Sumber daya mineral sebagai salah satu kekayaan alam yang dimiliki bangsa Indonesia, apabila dikelola dengan baik akan memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi negara. Dalam hal ini, pemerintah sebagai penguasa sumber daya tersebut, sesuai dengan amanat Undang – Undang Dasar 1945, harus mengatur tingkat penggunaannya untuk mencegah pemborosan  potensi yang dikuasainya dan dapat mengoptimalkan pendapatan dari pengusahaan sumber daya tersebut sehingga dapat diperoleh manfaat yang sebesar – besarnya bagi kemakmuran rakyat (Ideologis, 17 Juli 2008). Untuk dapat mencapai kemakmuran tersebut diperlukan kerja keras, karena keberadaan tambang yang ada di dalam perut bumi harus dikelola dengan baik, dengan mengeluarkan dan melakukan pengolahan objek penambangan. Hasilnya sebagian dipergunakan untuk kepentingan dalam negeri dan sebagian lagi untuk kepentingan luar negeri[26].

       Kekayaan alam Indonesia yang sangat berlimpah, kekayaan laut, hutan, bahan tambang, dan minyak,  ternyata  tidak serta merta dapat dinikmati untuk kesejahteraan rakyatnya. Betapa banyak industri pertambangan yang dikuasai perusahaan asing. Bangsa kita hanya menjadi pekerja dan Pemerintah / negara hanya mendapat royalty yang sedikit. Sementara kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat industri pertambangan cukup besar. Oleh karena itu, Pemerintah perlu melakukan tata kelola pertambangan sumber daya alam mineral dan batubara dengan mengadakan regulasi yang lebih tegas sehingga mempunyai nilai – nilai (values) efektivitas untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan rakyat.

2. KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN MENURUT PANDANGAN HIDUP BANGSA INDONESIA.

       Dalam abad modern ini telah terjadi pemekaran tugas negara dan bukan hanya sekedar menjaga  ketertiban tetapi juga mengusahakan agar setiap anggota masyarakat dapat menikmati kemakmuran secara adil dan merata. Untuk mencapai cita – cita wefare state tidak dapat dihindarkan, bahkan dibutuhkan campur tangan negara dalam segala kegiatan warga negaranya. Di negara Barat cara ini memang merupakan cara yang tepat, oleh karena mereka dalam abad ke XIX mengalami ekses – ekses daripada struktur masyarakat  yang terlampau individualistis, sehingga asas aquality before the law malahan memukul anggota masyarakat yang kedudukan sosial ekonominya lemah, sedangkan dalam hal – hal tertentu negara menitikberatkan kepentingan umum dengan mengurangi kepentingan individu[27].

       Peranan negara yang bertambah besar dalam usaha pembangunan mengakibatkan kian bertambah  besar campur tangan negara dalam segala bidang kegiatan warga negara dengan dalih demi kepetingan umum atau demi kepentingan pembangunan. Akibatnya sering terjadi bentrokan antara kepentingan negara dengan anggapan bahwa kewajiban untuk menggunakan kekuasaannya demi kepentingan umum, dan kepentingan individu yang mempertahankan hak miliknya, integritas martabatnya dan kebebasannya sebagai manusia merdeka[28].

Dengan berpangkal tolak  pada perumusan sebagai yang digariskan oleh para pembentuk Undang – Undang Dasar kita yaitu, Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) maka diasumsikan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari pengertian negara hukum pada umumnya yang disesuaikan dengan keadaan di Indonesia, dengan lain perkataan rumusan negara hukum tersebut dipergunakan dengan ukuran pandangan hidup maupun pandangan bernegara bangsa kita[29].

Berpangkal tolak pada realita bahwa kesejahteraan sosial rakyat / masyarakat Indonesia pada saat ini, maka dibutuhkan konsep dan paradigma berpikir yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dibidang ekonomi, sosial, budaya, religius dan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Konsep untuk menyelenggarakan kesejahteraan sosoial – ekonomi, pada hakekatnya dapat dilakukan  dengan cara memanfaatkan semaksimal mungkin pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, dalam konteks ini sumber daya alam mineral dan batubara. Pengelolaan sumber daya alam tersebut harus sesuai dengan nilai – nilai yang terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia.

Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia yang terkristalisasi dari  nilai – nilai yang hidup, tumbuh dan berkembang  dalam budaya bangsa IndonesiaPancasila ini menurut sejarah pembawaannya adalah mengandung “ISI JIWA BANGSA INDONESIA” sehingga dapat dikatakan adalah FILSAFAT BANGSA INDONESIA. Suatu filsafat itu adalah suatu pemikiran yang bulat [30]. Filsafat  adalah – untuk mengambil pokoknya saja – suatu hasil karya manusia  untuk menemukakan hakekat sesuatu. Adapun hakekat ini adalah tempat sesuatu dalam alam semesta dan hubungannya dengan isi – isi Alam Semesta lainnya. Dengan demikian,  maka suatu filsafat itu sesungguhnya adalah suatu pemikiran yang berkenaan dengan apapun juga yang terdapat dalam Alam Semesta. Yang terdapat dalam Alam Semesta itu tidak saja manusia melainkan pula makhluk lainnya dan tidak kurang benda mati. Tentang masing – masing dari ini kita dapat mencari hakekatnya; bahkan tentang hal yang tak berwujudpun, seperti lingkaran, garis tegak lurus dan sebagainya[31].

Konsep keadilan yang berasal dari pemikiran barat yang mendasarkan diri pada suatu landasan filsafat barat, baik aliran filsafat idealisme, realisme, liberalisme maupun yang mendasarkan diri pada aliran filsafat lainnya seperti filsafat Marx, filsafat Engel dan filsafat bakunin, tidak serta merta identik dengan konsep keadilan menurut pandangan bangsa Indonesia. Perbedaan  ini timbul karena pandangan hidup barat yang bersifat individualistis, liberal dan materialistis dengan cara berpikirnya yang abstrak, analitis dan sistematis, berbeda dengan pandangan hidup bangsa Indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan keluarga dan hidup dalam alam yang diliputi suasana magis metafisis dengan cara berpikirnya yang konkrit dan riil. Walaupun terdapat perbedaan konsep keadilan menurut  pemikiran barat  dan pemikiran Indonesia, namun ada kesamaan dalam hal tertentu, karena dari konsep tersebut  unsur – unsur pokok yang bernilai universal dari keadilan menurut pemikiran barat terdapat pula dalam konsep keadilan menurut pandangan bangsa Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila[32].

Baik pandangan berdasarkan falsafah umum dari barat maupun berdasarkan pandangan Pancasila, pada dasarnya konsep keadilan tersebut mengarah pada berlakunya  prinsip keadilan sosial, yaitu keadilan yang lebih banyak memberikan perhatian  dan bobot kepada kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, perlu diamati implementasi rumusan umum asas keadilan yang merupakan  inti dari upaya perlindungan hukum. Konsep keadilan menurut pandangan bangsa Indonesia tertuang dalam Pancasila yang merupakan filsafat bangsa[33].

Apabila konsep negara kesejahteraan adalah ide universal yang dianggap sebagai ide alternatif mengenai kebijakan negara dalam mengatasi kemiskinan, maka penelusuran mengenai upaya para pendiri bangsa dahulu (founding fathers) dalam meletakan dasr pemikiran tersebut adalah usaha pengenalan diri kita kembali akan keluhuran nilai-nilai (jika ide negara kesejahteraan kita anggap sebagai nilai  luhur untuk diterapkan saat ini) yang  sebenarnya sejak dahulu telah dirumuskan dalam Undang – Undang Dsar 1945. Selain itu, upaya ini dapat dikatakan sebagai tanda bahwa kita hendak mencari format pemikiran negara kesejahteraan yang khas Indonesia. Pemikiran  para tokoh bangsa Indonesia dahulu mengenai konsep negara yang ideal (negara yang mampu menyejahterakan rakyatnya) itu juga tidak terlepas dari proses perdebatan dengan argumentasi ilmiah yang beraneka ragam.

Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa mengandung arti bahwa didalam cara memandang masalah atau hal – hal yang dihadapinya, bangsa Indonesia berorientasi pada Pancasila. Pandangan hidup juga mengandung arti bahwa tindakan atau tingkah laku didasarkan atas suatu endapan pengalaman yang telah tertanam sebelumnya. Sampai berapa jauh pantulan itu di dalam penglihatan yang dibawakan oleh bangsa kita akan tampak di dalam reaksi terhadap tantangan yang dihadapinya[34].

Inti pandangan hidup itu akan konsisten. Berkenaan dengan adanya perkembangan masyarakat, akan terdapat pula variasi dalam tindakan. Hal ini selalu mungkin berkenaan dengan perkembangan masyarakat yang aneka ragam persoalannya dan bermacam – macam jenisnya. Tantangan akan dijawab sesuai dengan apa yang ada dalam diri sendiri bangsa[35].

Pancasila sebagai pandangan hidup Bangsa Indonesia, sebagaimana ditentukan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat  Nomor II / MPR / 1979, maka Pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia dan dasar negara kita. Setiap bangsa yang ingin berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas arah serta tujuan yang ingin dicapainya sangat memerlukan nilai-nilai luhur yang dijunjung sebagai pandangan / filsafat hidup. Dalam pergaulan hidup terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan oleh suatu bangsa, terkandung pikiran-pikiran yang terdalam dan gagasan suatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik.

Cita hukum atau rechtsidee adalah apa yang dicita – citakan atau apa yang dituju oleh hukum, jadi cita hukum berada dalam dunia idee, tumbuh dalam cita – cita dan eksis dalam dunia sollen. Cita hukum (rechtsidee) menurut Rudolf Stammler sebagaimana dikutip Theo Huijbers (1998: 150), adalah konstruksi pikir yang mengarahkan hukum pada cita – cita yang diinginkan masyarakat. Cita hukum berfungsi sebagai pemandu untuk mencapai apa yang dicita – citakan. Cita hukum itu mengandung prinsip yang berlaku sebagai norma bagi keadilan atau ketidakadilan hukum, dengan demikian cita hukum secara serentak memberikan manfaat ganda, yaitu dengan cita hukum dapat diuji hukum positif  yang berlaku, dan pada cita hukum dapat diarahkan hukum positif menuju hukum yang adil. Secara spesifik Stammler mengidentifikasikan cita hukum sebagai kemauan yuridis, yaitu suatu kemauan yang mendorong setiap orang untuk membentuk peraturan – peraturan bagi masyarakat dalam hukum positif. Disini terlihat bahwa kemauan yuridis merupakan dasar dan syarat bagi seluruh hukum positif. Kemauan yuridis ini bersifat transendental, yaitu bahwa kemauan ini berfungsi sebagai prinsip terakhir dari segala pengertian tentang hukum. Cita hukum mengandung arti bahwa pada hakekatnya, hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat berakar pada gagasan, rasa, karsa, cipta, dan pikiran dari masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, hukum yang adil adalah hukum yang diarahkan oleh cita hukum untuk mencapai tujuan masyarakat (Roeslan Saleh, 1995: 50). Selanjutnya Radbruch menegaskan pula bahwa cita hukum tidak hanya berfungsi sebagai tolak ukur yang bersifat regulatif  yang menguji apakah suatu hukum positif adil atau tidak, melainkan juga sekaligus berfungsi sebagai dasar yang bersifat konstitutif, yaitu yang menentukan bahwa tanpa cita hukum, hukum akan kehilangan maknanya sebagai hukum (Koesoemo Sisworo 1995: 121). Hakekat keadilan adalah penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan dengan mengkajinya oleh suatu norma yang menurut pandangan subjektif melebihi  norma – norma lainnya (Sudikno Mertokusumo 2003: 77). Penilaian tentang keadilan ini pada umumnya hanya ditinjau dari satu pihak saja, yaitu pihak yang menerima perlakuan, misalnya kalau kebijaksanaan pemerintah telah dipertimbangkan masak – masak bahwa hal itu demi kepentingan umum, demi kepentingan orang banyak, tetapi ada warga negara yang tidak terpenuhi kebutuhannya, apakah kebijaksanaan pemerintah itu dapat dinilai tidak adil, maka keadilan harus dilihat dari dua pihak, yaitu pihak yang memperlakukan dan pihak yang menerima perlakuan[36].

Republik Indonesia sebagai negara hukum Pancasila pasti mendambakan suatu tertib hukum. Namun tertib hukum yang dimaksud  bukan dalam arti tertib hukum yang berlandaskan undang – undang semata – mata. Tertib hukum yang dikenendaki adalah tertib hukum yang luwes yang juga dapat mendukung gerak iramanya pembangunan[37].

Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum ataupun sumber tertib hukum bagi kehidupan hukum bangsa Indonesia, maka hal itu harus diartikan bahwa Pancasila adalah sumber bagi hukum tidak tertulis dan sumber bagi hukum tertulis dalam kehidupan bangsa Indonesia. Dengan perkataan lain, rumusan itu sama dengan rumusan yang menyatakan bahwa Pancasila menguasai seluruh hukum yang berlaku bagi bangsa Indonesia, baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis[38].

Maka dalam mengartikan hukum rumusan yang menyebutkan bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum, kita hanya dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud ialah sumber dari segala sumber hukum yang terbatas dalam kehidupan rakyat Indonesia bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kita tidak perlu menafsirkan lebih luas daripada itu[39].

Di dalam mencari suatu teori bernegara yang konkrit, maka sudah barang tentu kita tidak dapat melepaskan diri dari teori bernegara pada umumnya. Teori bernegara yang konkrit dari bangsa Indonesia dapat kita katakan telah mengkaitkan hal – hal yang umum dan universal dari teori bernegara pada umumnya dengan hal – hal yang khusus pada suatu kelompok manusia (situatio Gebundenheit) bersumber  pada alam dan budaya bangsa (Natur und Kultur Bedingungen), yang oleh Prof. Soepomo disebut dengan istilah suasana kebatinan bangsa Indonesia (geistlichen Hintergrund). Suatu negara dapat kita lihat sebagai suatu kesatuan yang utuh (Ganzheit) ataupun dapat kita lihat dalam strukturnya. Dengan teori dua segi ini (zweiseiten  theorie) dapat dijelaskan bahwa luas lingkup ketatanegaraan Indonesia yaitu dimana ideologi Pancasila diimplementasikan[40].

Apabila dalam teori ekonomi Barat (Klasik – Neoklasik – Keynesian) diasumsikan bahwa hakekat manusia adalah egois dan selfish,  sedangkan dalam teori ekonomi “timur” (Marxian) manusia dianggap bersemangat kolektif, maka dalam masyarakat Pancasila manusia mencari keseinbangan antara hidup sebagai pribadi dan hidup sebagai warga masyarakat, antara kehidupan materi dan kehidupan rohani. Menurut Pancasila yang Berketuhanan Yang Maha Esa, selain homo – economicus, sekaligus homo – metafisikus dan homo – mysticus. Ini berarti bahwa dalam ekonmomi Pancasila manusia tidak hanya dilihat dari tata segi saja yaitu instink ekonominya, tetapi sebagai manusia bulat, manusia seutuhnya. Sebagai manusia yang utuh ia berpikir, bertingkah laku dan berbuat, tidak berdasar rangsangan ekonomi saja, tetapi juga terangsang oleh faktor – faktor sosial dan moral. Faktor soasial dalam hubungannya dengan manusia lain dan masyarakat dimana ia berada, dan faktor moral dalam hubungan manusia sebagai titah Tuhan dengan penciptanya[41].

Pancasila dasar negara dapat “diterapkan” dalam kehidupan ekonomi bangsa, negara, dan masyarakat sebagai berikut:

(1)   Ketuhanan Yang Maha Esa. Roda perekonomian digerakkan oleh rangsangan – rangsangan ekonomi, sosial dan moral;

(2)   Kemanusiaan yang adil dan beradab. Ada kehendak kuat dari seluruh masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial (egalitarian), sesuai asas – asas kemanusiaan;

(3)   Persatuan Indonesia. Prioritas kebijaksanaan ekonomi adalah penciptaan perekonomian nasional yang tangguh. Ini  berarti nasionalisme menjiwai setiap kebijaksanaan ekonomi;

(4)   Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan. Koperasi merupakan sokoguru perekonomian dan merupakan bentuk paling konkrit dari usaha bersama;

(5)   Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adanya imbangan yang jelas dan tegas antara perencanaan di tingkat nasional dengan desentralisasi dalam pelaksanaan kebijaksanaan ekonomi untuk mencapai keadilan ekonomi dan keadilan sosial[42].

ad.1. HAK ULAYAT  MENURUT HUKUM PERTANAHAN

       Secara sosiologis,  hukum merupakan lembaga kemasyarakatan  yaitu himpunan daripada kaedah – kaedah dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh karena hukum bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok daripada warga – warga masyarakat akan ketertiban dan sebagai lembaga kemasyarakatan hukum jelas berfungsi sebagai pedoman bagaimana bertingkah laku, sebagai alat untuk menjaga keutuhan masyarakat dan sebagai sistem pengendalian sosial. Sebagai suatu lembaga kemasyarakatan, hukum berdiri berdampingan dengan lembaga – lembaga kemasyarakatan lainnya dan saling pengaruh – mempengaruhi dengan lembaga – lembaga kemasyarakatan tadi[43].  Dalam hal ini diantaranya lembaga masyarakat hukum yang dikenal dengan sebutan hak ulayat.

       Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, (untuk selanjutnya disebut hak ulayat) adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah, turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.  Hak ulayat diakui keberadaannya sepanjang:

  1. Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa;
  2. Tidak bertentangan dengan sosialisme Indonesia;
  3. Tidak bertentangan dengan Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA);
  4. Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  5. Mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

       Kriteria hak ulayat harus memenuhi  3 (tiga)  unsur, yaitu :

  1. Unsur Masyarakat Adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari;
  2. Unsur Wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari;
  3. Unsur hubungan antara masyarakat adat dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

 

       Adapun yang menjadi dasar hukum berlakunya hak ulayat di Indonesia, antara lain:

  1. Ketentuan Pasal 3 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agrariayang menyatakan:

 

  • Pasal 3 berbunyi: “Dengan mengingat Ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 Pelaksanaan Hak Ulayat dan Hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat Hukum Adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
  • Ketentuan Pasal 5 berbunyi: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang berdasar pada hukum agama.”

2. Ketentuan Pasal II ayat (1) Ketentuan – Ketentuan  Konversiyang berbunyi: Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 20 ayat 1 seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, yaitu: hak agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant Sultan, landerijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut dalam pasal 20 ayat 1, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21”.

 

3. Ketentuan pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendafaran Tanahyang menyatakan:

  • Untuk keperluan pendaftaran hak-hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan ybs yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam Pendaftaran Tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendafataran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.
  • Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya,dengan syarat : penguasaan  tersebut  dilakukan  dengan  itikad baik  dan  secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.

 

4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

       Sistem hukum tanah pada saat Pemerintah Kolonial Berkuasa berkuasa mengandung dualisme hukum. Bagi penduduk pribumi berlaku hukum adat, sedangkan  terhadap golongan lainnya berlaku hukum Barat. Hal tersebut disebabkan, sistem hukum pertanahan yang dijalankan di Indonesia pada masa itu menganut dan berorientasi pada sistem hukum Belanda dan Eropa. Akan tetapi, pada kenyataan kepentingan golongan Bumi Putera selalu dalam posisi yang lemah bahkan tidak menjamin adanya kepastian hukum bagi hak – hak  rakyat atas tanah dan mengabaikan keberadaan hukum (masyarakat) adat termasuk hak kepemilikan tanah adat (ulayat).

       Konsepsi hukum tanah adat yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur kehidupan masyarakat Indonesia,  mengedepankan keseimbangan antara “kepentingan bersama” dengan “kepentingan perseorangan”. Pemilikan dan pemanfaatan tanah harus memperhatikan keselarasan. Konsepsi hukum tanah adat berbeda dengan konsepsi hukum tanah Barat, dalam hukum tanah Barat dasarnya adalah “Individualisme” dan “liberalisme”.

       Masyarakat hukum adat adalah suatu kelompok manusia, mempunyai kekayaan tersendiri terlepas dari kekayaan perorangan, mempunyai batas wilayah tertentu, dan mempunyai kewenangan tertentu. Hukum tanah adat merupakan hukum asli, mempunyai sifat yang khas, dimana hak-hak perorangan atas tanah merupakan hak pribadi akan tetapi didalamnya mengandung unsur kebersamaan, yang dalam istilah modern disebut “fungsi sosial”, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 6 Undang – Undang Pokok Agraria.  Hukum adat merupakan sumber utama hukum  agraria  atau hukum pertanahan Indonesia.

       Berbagai kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah sampai saat ini masih dalam taraf “pengakuan” terhadap hak atas kepemilikan tanah  ulayat masyarakat hukum adat, tetapi belum memberikan “perlindungan” yang selayaknya terhadap hak kepemilikan atas tahah ulayat dalam masyarakat adat. Namun demikian, diakui bahwa beberapa kebijakan pemerintah mulai ada upaya memberi pengakuan dan perlindungan (terbatas) terhadap hak pemilikan tanah ulayat pada masyarakat adat, antara lain : pasal 41 TAP MPR No. XVII Tahun 1998 Tentang Hak Asasi Manusia, TAP MPR No. XI tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan UUD 1945 yang telah diamandemen. Kebijakan ini sampai sekarang belum direalisasikan dalam bentuk undang – undang atau kebijakan lain sebagai pelaksanaan ketetapan MPR. Selanjutnya muncul Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 tahun 1995 yang mengakui dan memberikan perlindungan atas tanah rakyat dan adat (ulayat).

       Selain itu, sebenarnya telah ada beberapa kebijakan yang menyebutkan dan mengakui keberadaan masyarakat adat, antara lain dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (yang diperbarui), UU Nomor 11 Tahun 1999 Tentang Pertambangan, UU Nomor 10 tahun 1992 Tentang Kependudukan, Keppres Nomor 111 tahun 1999 Tentang Komunitas Adat Terpencil (KAT), SK Menteri Kehutanan Nomor 47 tahun 1998 Tentang Kawasan dengan Tujuan Istimewa dan Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, pasal 2 Undang – Undang  No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

       Pada dasarnya hak ulayat telah diakui keberadaanya dalam UUPA, namun pengakuan tersebut masih harus diikuti syarat-syarat tertentu yaitu : Pertama, eksistensi atau keberadaannya, hak ulayat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada, yang berarti bahwa UUPA tidak mengatur eksistensinya, karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Kedua, syarat pelaksanaannya yaitu sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lainnya yang lebih tinggi.

       Selain dari pengaturan tanah hak ulayat yang ditentukan dalam Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA, melalui Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam UU. Amandemen UUD 1945 ternyata masih belum mampu menyelesaikan persoalan sebenarnya yang dihadapi masyarakat hukum adat terutama di daerah, yang disebabkan berbagai alasan antara lain : Pertama, adanya pembatasan pengakuan hukum berupa persyaratan-persyaratan contohnya seperti yang terdapat pada Undang-undang Kehutanan, ndang-undang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Perkebunan. Kedua, kebijakan di masing-masing isntansi pemerintah belum sinergis, sehingga menciptakan sektoralisasi yang pada akhirnya menjadikan banyak instansi pemerintah mengurusi masyarakat hukum adat menggunakan pendekatan yang berbeda – beda  dan parsial dalam memandang hak-hak masyarakat hukum adat. Ketiga, belum adanya lembaga yang paling berkompeten mengurusi keberadaan  dan hak-hak masyarakat hukum adat serta belum terciptanya model pengaturan yang komprehensif dalam pengakuan hukum terhadap keberadaan masyarakat hukum adat, baik substansi maupun kerangka implementasinya.

       Selama ini pelaksanaan ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA hanya dilakukan terhadap penguasaan tanah oleh instansi pemerintah untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan pihak ketiga. Sementara itu pengaturan mengenai penguasaan tanah oleh masyarakat hukum adat sesuai Pasal 2 ayat (4) ini belum tersedia. Ketentuan dalam pasal ini memberikan dasar bagi pengakuan atas penguasaan masyarakat hukum adat atas suatu bidang tanah yang luas (serupa dengan wilayah adat mereka) dimana institusi adat berwenang untuk mengatur segala hal terkait dengan penguasaan komunal, kolektif dan individu anggota masyarakatnya.

       Hal yang umumnya dikhawatirkan banyak pihak terkait dengan pemberian semacam hak atas tanah pada masyarakat hukum adat adalah kemungkinan peralihan hak tersebut kepada pihak luar. Dengan hak pengelolaan kekhawatiran akan hilang karena hak pengelolaan sejatinya bukan hak privat atas tanah. Hak pengelolaan adalah hak publik bukan hak privat, yang merupakan bagian dari hak menguasai negara yang didelegasikan pelaksanaannya kepada masyarakat hukum adat. Dengan demikian masyarakat hukum adat tidak akan dapat mengalihkan hak pengelolaannya ini kepada pihak lain.

       Belum adanya pengaturan mengenai hak ulayat bagi masyarakat hukum adat membuat sulit menduga apakan hak pengelolaan yang selama ini ada pada instansi pemerintah juga bisa diterapkan pada masyarakat hukum adat. Dalam hak pengelolaan pemerintah ada kewenangan pemegang hak pengelolaan untuk membuat perjanjian dengan pihak ketiga guna pemanfaatan tanah-tanah yang menjadi bagian dari hak pengelolannya. Berdasarkan perjanjian itu maka Badan Pertanahan Nasional (BPN) dapat memberikan hak atas tanah kepada pihak ketiga dan pada saat berakhirnya jangka waktu hak atas tanah, maka penguasaan tanah kembali kepada pemegang hak pengelolaan. Yang menjadi pertanyaan adalah, jika masyarakat hukum adat mendapatkan hak pengelolaan apakah mereka juga berhak mengadakan perjanjian yang demikian apa tidak, hak-hak apa sajakah yang boleh muncul, kemudian bagaimana prosedur yang harus dilalui oleh masyarakat hukum adat untuk mendpatkan kembali haknya setelah hak atas tanah dari pihak ketiga berakhir. Hal-hal inilah yang penting untuk diperhatikan jika ingin mengatur lebih lanjut ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA bagi masyarakat hukum adat dengan model hak pengelolaan untuk melegalisasikan komunal hukum adat.

       Kenyataannya, hak ulayat atas wilayah tanah  adat tertentu seringkali besinggungan  dengan kepentingan pemegang IUP. Sebagaimana dijelaskan oleh pasal 1 ayat 30 Undang – Undang  No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) adalah bagian dari Wilayah Pertambangan (WP) yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan / atau informasi geologi. WP sendiri ialah wilayah yang memiliki potensi mineral dan / atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional. Dalam hal ini, Adalah merupakan kewenangan Pemerintah dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara bagi kepentingan khalayak banyak, untuk menetapkan WP. Pasal 14 Undang – Undang  Minerba mengatur bahwa penetapan WP akan dilakukan setelah Pemerintah berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah, berdasarkan data yang dimiliki oleh kedua belah pihak, dan disampaikan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Sebagian kewenangan Pemerintah Pusat dapat dilimpahkan kepada pemerintah provinsi. Pemerintah pusat dan daerah wajib untuk terus mengadakan penginventarisasian, penyelidikan, penelitian serta eksplorasi pertambangan dalam rangka penyiapan WP.

ad.2. PENGGUNAAN LAHAN MASYARAKAT ADAT DALAM INVESTASI SUMBER DAYA ALAM PERTAMBANGAN

       Menurut ajaran sejarah tentang hak milik,  pada awal mulanya hukum tidak mengenal adanya hak milik pribadi atau perorangan atas benda apapun juga. Segala benda yang ada pada waktu itu semuanya dianggap sebagai milik bersama para anggota masyarakat secara merata (res communes atau bonum commune). Karena itu setiap benda tersebut dikatakan juga “res nullius” yang berarti benda tanpa ada yang berhak untuk dimiliki oleh siapa pun juga secara pribadi[44].

       Menurut ajaran hukum alam mengenai hak milik, semula tiada satupun benda – benda yang dapat dimiliki oleh seseorang secara pribadi. Benda – benda tersebut pada awal mulanya disebut “res nullius”  yang berarti benda – benda tidak bertuan atau benda – benda yang tidak ada empunya. Kemudian orang – perorangan saling mengadakan pembagian melalui perjanjian – perjanjian untuk memiliki benda – benda tersebut atas namanya masing – masing. Benda – benda yang dapat dimiliki secara pribadi melalui perjanjian pembagian tersebut menjadi milik mereka secara perorangan tetapi benda – benda yang tidak dimiliki secara pribadi terpaksa dimiliki secara bersama sebagai milik masyarakat atau negara[45].

       Benda – benda yang tidak dapat dimiliki secara pribadi ini, tentu saja tidak dapat diperdagangkan atau dijualbelikan. Karena itu benda – benda tersebut ini dinamakan benda – benda di luar perdagangan (res extra commercium), yang pada dasarnya terdiri atas:

  1. Benda – benda milik bersama para anggota masyarakat atau milik umum (rescommunes), yakni benda – benda yang pemanfaatannya dilakukan dan dinikmati langsung oleh para anggota masyarakat secara bersama – sama;
  2. Benda – benda milik rakyat (publik) yang dalam hal pemilikannya dideligasikan kepada negara(res publicae). Jadi benda – benda tersebut dinyatakan sebagai milik negara  atau dikuasai negara untuk dimanfaatkan bagi kepentingan kehidupan masyarakatnya.
  3. Benda – benda yang penggunaan manfaatnya didermakan atau diamalkan untuk tujuan – tujuan kesucian (res sanctae) atau kesakralan (res sacrae)yang berarti juga tujuan – tujuan keagamaan (res religiosae)[46].

Selaras dengan Falsafah Negara dan Pandangan Hidup Bangsa kita yakni Pancasila yang menuntut keserasian antara kepentingan perorangan dan kepentingan masyarakat, maka tentu saja di samping pelaksanaan perlindungan hukum terhadap hak milik sebagai pengejawantahan kepentingan perorangan, pembatasan hukum terhadap hak milikpun telah dilaksanakan di Indonesia. Pelaksanaan pembatasan hukum terhadap hak milik inilah yang merupakan pengejawantahan dari perhatian terhadap kepentingan masyarakat[47].

Untuk dapat melakukan usaha pertambangan sudah pasti dibutuhkan sebidang tanah karena kegiatan pertambangan tidak lain adalah melakukan penggalian tanah. Keberadaan tambang kebanyakan letaknya berada di dalam perut bumi. Sebuah perusahaan pertambangan untuk dapat melakukan penambangan harus memiliki izin dari pemerintah lebih dahulu[48].

Dengan izin yang dimilikinya perusahaan pertambangan tidak dapat langsung melakukan penambangan sesuai lokasi yang ditunjuk dalam izin yang bersangkutan, akan tetapi perlu melihat dahulu di lokasi penambangan, apakah di lokasi tersebut terdapat hak – hak atas tanah yang dimiliki oleh pihak lain. Apabila ada hak – hak atas tanah maka tidak mungkin kegiatan penambangan dapat dilakukan begitu saja, karena perusahaan pertambangan akan menghadapi masalah yaitu perbenturan kepentingan antara penggunaan hak atas tanah dengan penggunaan hak penambangan pada bidang tanah sama. Sementara itu pada umumnya hak atas tanah lebih dahulu diberikan pemerintah dibandingkan dengan hak penambangan[49].

       Permasalahan penyelesaian sengketa penggunaan lahan hak ulayat dalam investasi pertambangan merupakan kasus pertanahan yang terjadi sejak masa orde lama sampai masa orde reformasi. Langkah yang ditempuh masyarakat maupun pemerintah dalam melakukan upaya penyelesaian sengketa tanda ulayat secara hukum menyangkut pengakuan keberadaan hak ulayat dan kepastian hukum. Oleh karena itu, pemantapan hukum terhadap hak ulayat dalam perkembangan hukum pertanahan nasional, penggunaan lahan masyarakat adat dalam investasi sumber daya alam, sengketa penggunaan lahan hak ulayat dalam sumber daya pertambangan, serta penyelesaiaan sengketa lahan hak ulayat dalam bidang pertambangan.

Permasalahan penyelesaian sengketa penggunaan lahan hak ulayat dalam investasi pertambangan merupakan kasus pertanahan yang terjadi sejak masa Orde Lama sampai masa Orde Reformasi. Penyelesaian sengketa tanah hak ulayat yang ada, dalam penerapan hukumnya tidak mengedepankan asas keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat adat. Mekanisme penyelesaian yang ada kurang memadai dan kurang memberikan penyelesaian yang komprehensif serta tidak bisa membongkar akar struktur konflik pertanahan. Oleh sebab itu, sangat diperlukan adanya Pengadilan Kamar Pertanahan (PKP) yang murah, cepat, independen, dan khusus dalam menangani sengketa pertanahan masyarakat adat maupun masyarakat umum yang di bawah Badan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Langkah yang ditempuh masyarakat maupun pemerintah dalam melakukan upaya penyelesaian sengketa tanah ulayat secara hukum menyangkut pengakuan keberadaan hak ulayat dan kepastian hukum[50].

Selain itu,dalam konteks penggunaan lahan untuk pertambangan maka Pemerintah, Pemerintah Daerah (Pemerintah Provinsi) harus  memperhatikan masalah sengketa atau tumpang tindih lahan antara kegiatan usaha pertambangan dengan kegiatan usaha sektor lain. Aspek penyelesaian sengketa hendaknya dapat diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) agar investor mendapatkan solusi tepat. Pemerintah Provinsi juga harus menjalin hubungan yang  lebih koordinatif dengan Pemerintah Kabupaten / Pemerintah Kota dalam bidang pertambangan. Pemerintah Propinsi  hendaknya selalu mengingatkan para Bupati / Wali Kota agar selalu selektif, teliti dan hati-hati dalam memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Hal ini perlu agar investasi yang masuk dapat membawa manfaat besar bagi masyarakat. Pemberian izin secara selektif, teliti, cermat dan hati – hati dimaksudkan   juga untuk menghindari terjadinya konflik sosial antara pemegang izin dengan masyarakat.

Koordinasi antar – pemerintah  di bidang pertambangan ini sangat diperlukan,  mengingat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, ditegaskan bahwa  Menteri, Gubernur dan Bupati / Wali Kota mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan IUP. Koordinasi intensif antara pemerintah pusat dengan Pemprov dan Pemkab / Pemkot juga diperlukan dalam upaya sinkronisasi tata ruang wilayah. Batas – batas  kewenangan masing-masing pihak dalam memberikan IUP perlu dikoordinasikan, mengingat adanya kemungkinan izin – izin  pertambangan diberikan kepada investor dengan cara – cara melanggar prosedur, selain itu agar kepentingan masyarakat lokal tetap diperhatikan.

3. REFLEKSI NEGARA KESEJAHTERAAN DALAM PASAL 33 UNDANG – UNDANG DASAR 1945.

Tuntutan atas muatan UU Pertambangan yang harus  berpihak pada kepentingan rakyat  dan daerah, merupakan hal yang wajar dan dapat dipahami, karena dijamin oleh konstitusi negara, persisnya oleh pasal 33 ayat (3) UUD 1945.   Ketentuan pasal 33 ayat (3) tersebut, mengandung roh yang menegaskan, bahwa kekayaan alam yang terdapat di wilayah hukum Indonesia harus dipergunakan “hanya dan hanya” untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya roh pasal 33 ayat (3) mengandung tiga unsur makna, yaitu:

  1. Unsur bumi dan kekayaan alam, baik kekayaan alam yang di permukaan maupun di bawah tanah sebagai objek;
  2. Unsur negara sebagai suyek;
  3. Unsur rakyat sebagai objek sekaligus subjek atau sasaran dari pemanfaatan hasil bumi dan kekayaan alam[51].

   Dalam konteks hak menguasai negara  bidang pertambangan sebagaimana dimaksud pasal 3 ayat (3) UUD 1945, tidak ada ketentuan dalam perundang – undangan, baik UU No. 11  Tahun 1967, maupun UU No. 4 Tahun 2009, yang menjelaskan tentang pengertian dan ruang lingkup maksud hak menguasai negara tersebut. Pengertian hak menguasai negara ditemukan dalam Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA), memberikan makna “hak menguasai dari negara”, yaitu wewenang untuk:

  1. Mengatur dan menyelenggarakan perubahan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut;
  2. Menentukan dan mengatur hubungan – hubungan hukum antara orang – orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;
  3. Menentukan dan mengatur hubungan – hubungan hukum mengenai bumi, air, dan ruang ankasa[52].

Berkaitan dengan hak menguasai oleh negara, AP Parlindungan  menegaskan bahwa Kesimpulan pasal 1, 2, 3, 4, dan 9 UUPA, kesemuanya dalam konteks dengan ketahanan nasional sebagaimana disebutkan oleh pasal 2 ayat (4)  UUPA: Wewenang yang bersumber pada Hak Menguasai Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar – besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, dan makmur. Dengan demikian pemerintah dalam menjalankan HMN tersebut akan berusaha membuat beberapa lembaga – lembaga hukum untuk memenuhi pasal 4 ini dalam pelaksanaan tugasnya, baik itu keperdataan, ataupun yang bukan keperdataan maupun kenegaraan, yang memberikan kemudahan seseorang atau badan memperoleh manfaat dari satu bidang tanah, tetapi bukan sebagai pemiliknya[53].

Mineral dan batubara mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam menunjang  pembangunan suatu negara. Karena dari hasil pengelolaan  dan pemanfaatan mineral dan batubara, negara akan menerima pajak – pajak, bukan pajak, dan lain – lain[54].  Dalam pasal 33 Undang – Undang Dasar 1945 telah ditentukan bahwa: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam ketentuan ini ditegaskan bahwa ada tiga unsur yang dikuasai oleh negara, yaitu:

  1. bumi;
  2. air; dan
  3. kekayaan alam yang terkandung di dalamnya[55].

       Ketentuan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Prinsip yang terkandung dalam ketentuan UUD 1945 ini mengandung esensi bahwa  Pemerintah sebagai pelaksana / penyelenggara kebijakan negara mempunyai kewajiban untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam sebesar-besar untuk kemakmuran / kesejahteraan rakyat Indonesia.

       Prinsip yang terkandung dalam pasal 33  UUD 1945 tersebut, berkaitan dengan pengusahaan / pengelolaan potensi sumber daya alam harus dilaksanakan secara berkelanjutan / berkesinambungan dan pemanfaatannya secara optimal semata – mata  demi kepentingan rakyat. Dengan demikian, Pemerintah memiliki peran yang sangat significant  dalam mengoptimalisasi pengusahaan potensi sumber daya alam. Pengusahaan / pengelolaan potensi sumber daya alam dalam implementasinya harus diterapkan dengan mempertimbangan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Hal ini sangat penting mengingat pengusahaan sumber daya alam merupakan kekuatan ekonomi riil secara berkelanjutan, antara lain berupa; penerimaan negara, pengembangan wilayah dan pengembangan sumber daya manusia. Akan tetapi, pengusahaan / pengelolaan  sumber daya alam (natural resources) tersebut harus tetap memperhatikan komitmen corporate social responsibility  dan  juga melakukan pengeloaan dan perlindungan terhadap lingkungan hidup.

       Pemanfaatan secara berkelanjutan ini, diartikan pula sebagai prinsip pemanfataan potensi sumber daya alam yang bersifat tidak terbarukan melalui nilai tambah yang makmisal menjadi suatu kegiatan ekonomi / industri nontambang yang terus – menerus  walaupun kegiatan tambang berakhir. Prinsip ini berkorelasi dengan amanat UUD NRI 1945 yang mengamanatkan agar pemanfaatan sumber daya alam sebagai kekayaan alam yang menjadi komoditas bagi bangsa untuk mensejahterakan rakyat melalui kebijakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation), peningkatan ekspor dan penerimaan devisa negara, serta perluasan kesempatan berusaha dan lapangan kerja dapat terwujud.

       Prinsip di yang dikemukakan diatas yang menjadi dasar filosofis dan sosiologis pembentukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang dalam prakteknya telah tidak mampu mengakomodir perkembangan kegiatan pertambangan yang terus bermetafora, misalnya pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam kaitannya dengan otonomi daerah; pengaturan mengenai wilayah pertambangan; reklamasi dan pascatambang; pembinaan dan pengawasan penyelengaraan pertambangan; penerimaan negara; penggunaan tanah untuk kepentingan pertambangan; divestasi saham atau modal pemegang izin usaha pertambangan; status kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara dan kuasa pertambangan yang sudah diterbitkan, sehingga diperlukan pembaharuan hukum pertambangan dari rezim pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 ke Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.

       Sebagai bentuk pembarahuan hukum pertambangan sebagaimana dimaksud di atas, maka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mengandung pokok – pokok  pikiran sebagai berikut:

Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama dengan pelaku usaha. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan / atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

       Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan menengah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan.

       Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat. Kaitan prinsip dan materi muatan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dalam tataran praktisnya mempertimbangkan pula perkembangan nasional maupun internasional yaitu perkembangan pengusahaan pertambangan yang telah memasuki era globalisasi dan ditandai dengan adanya persaingan bebas atas dasar kemajuan teknologi, informasi pertambangan, daya tarik investasi serta isu lingkungan hidup, serta demokratisasi yang sudah menjadi tuntutan dunia usaha.

       Terbitnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2004 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten, telah memberikan kewenangan kepada daerah dalam mengelola sumber daya mineral yang ada di daerahnya serta mengubah tatanan yang selama ini berlaku. Fungsi-fungsi pengelolaan sumber daya mineral yang selama ini dilaksanakan oleh Pemerintah, dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka sebagian besar dari fungsi-fungsi tersebut selanjutnya akan dilaksanakan oleh daerah. Pelaksanaan otonomi daerah berdampak penting bagi pergeseran paradigma pengaturan pertambangan mineral dan batubara. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mengatur secara rinci terkait kewenangan-kewenangan yang dimiliki Pemerintah maupun pemerintah provinsi dan pemerintah kabupatan/kota, sehingga peningkatan peran pemerintah daerah diharapkan akan menjadi potensi bagi peningkatan pendapatan daerah guna mewujudkan kesejahtaraan umum.

       Hal yang sangat penting pula terkait dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, yaitu pengusahaan pertambangan mineral dan batubara yang berhubungan dengan upaya investasi di sektor ini. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal mengatur bidang usaha atau jenis yang terbuka dan tertutup bagi kegiatan penananam modal yang ketentuan lanjutnya diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Dalam Peraturan Presiden tersebut bidang usaha pertambangan dapat dilakukan kegiatan invetasi dengan dipersyaratkan kepemilikan modalnya, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu, dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus.

       Peraturan perundang-undangan di atas menjadi dasar bagi pelaku usaha pertambangan untuk mendapatkan kepastian berinvestasi. Kepastian berinvestasi memerlukan komitmen bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan investor untuk dapat merealisasikan hubungan binis yang harmonis antara negara (Pemerintah) dan investor, sehingga keharmonisan tersebut dapat mewujudkan iklim investasi yang sehat. Pemerintah sebagai penyelenggara investasi sesuai dengan kapasitasnya adalah membuat regulasi yang mendukung terwujudnya hubungan yang sinergi atar Pemerintah, investor dan masyarakat. Investor sebagai pelaksana kegiatan eksplorasi berkewajiban mentaati aturan main yang menjadi dasar hukum terlaksananya kegiatan eksplorasi tersebut dalam implementasinya dengan mematuhi setiap ketentuan hukum yang berlaku umum dan atau perjanjian kontrak yang telah disepakati antara Pemerintah dengan investor, serta menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang hidup di dalam wilayah adat budaya setempat.

       Setidaknya terdapat tiga syarat, agar hukum dapat berperan mendorong jalannya perekonomian bangsa, yaitu hukum harus dapat menciptakan predictabilitystability, dan fairness, termasuk dalam peranan pengaturan pertambangan bagi mendorong perekonomian. Syarat pertama, yaitu predictability, peraturan perundang-undangan harus bisa menciptakan kepastian. Peraturan perundang-undangan yang menyebabkan ketidakpastian hukum menandakan telah terjadinya kegagalan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Hukum harus memberikan kepastian mengenai norma yang harus dipatuhi atau dihindari bagi setiap orang / badan yang terkena akibat hukum dari suatu pengaturan. Dengan tidak adanya kepastian hukum, maka akan terhambatnya pertumbuhan perekonomian dan dalam hal sektor pertambangan, maka investasi akan terhambat. Investasi merupakan masalah yang mengutamakan dana langsung dan hal tersebut akan berhubungan dengan pihak yang mempercayakan dana tersebut untuk diinvestasikan. Kepercayaan sangat tergantung dari kepastian hukum suatu negara yang akan menjadi tempat invetasi modal tersebut. Bentuk kepercayaan dimaksud dipengaruhi oleh sejauh mana negara yang akan menjadi tempat investasi dapat memberikan pengaturan yang jelas, komprhensif, pantas, tidak kontradiksi, dan pembentukan aturan yang mencantumkan persyaratan yang dapat dipenuhi oleh investor. Selain itu, aspek penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi menjadi dasar pertimbangan investor dalam menilai adanya kepastian hukum di suatu negara. Dengan adanya kepastian pengaturan dam kepastian penegakkan hukum tersebut, investor akan tertarik untuk menanamkan modalnya sehingga ketertarikan yang diimplementasikan dengan investasi akan berimplikasi pada pertumbuhan perekonomian bagi Indonesia.

       Syarat kedua, yaitu peraturan perundang-undangan harus bisa menciptakan stability, yaitu peraturan perundang-undangan harus mampu mengakomodir kepentingan-kepentiangan yang saling terkait dalam masyarakat. Kepentingan dalam masyarakat harus seimbang dalam perwujudan yang diformalisasikan dalam peraturan perundang-undangan. Kepentingan masyarakat untuk mendapatkan kepastian hukum, penegakan hukum atas tindak pidana korupsi, iklim investasi yang sehat dengan didukung oleh sistem perburuan yang kondusif, kemudahan dalam proses perizinan, kondisi sosial politik yang baik dan stabil, merupakan bentuk kepentingan yang harus diakomodir guna menciptakan aspek stabilitas dalam mendorong perekonomian. Stability dapat pula dimaknai dengan adanya keseimbangan antara kepentingan investor dalam berusaha serta kepentingan Pemerintah dan masyarakat dalam memperoleh manfaat atas implikasi investasi.

       Syarat ketiga, yaitu peraturan perundang-undangan sebagai saah satu sumber hukum yang dapat menciptakan fairness. Peraturan perundang-undangan dalam penerapannya diharapkan dapat mewujudkan keadilan. Keadilan dapat terwujud apabila pihak-pihak yang terkait diposisikan sesuai dengan kedudukannya masing-masing dan pihak tersebut dapat merasakan dampak yang positif dari pengaturan yang dikenai terhadapnya. Aspek keadilan ini pun dapat diperoleh oleh pihak yang merasa dirugikan atau dianggap telah menjadi korban keadilan dengan melakukan upaya pengujian suatu peraturan perundang-undangan ke Mahkamah Konstutusi untuk produk berupa undang-undang dan Mahkamah Agung untuk produk hukum di bawah undang-undang.

       Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 sebagian pihak investor mengganggap telah terjadi ketidakadilan dalam pengaturan yang mengatur mengenai ketentuan peralihan yaitu pada Pasal 172 yang pokoknya menentukan bahwa terhadap permohonan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang telah diajukan paling lambat satu tahun sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 (dalam hal ini paling lambat 12 Januari 2008) dan telah mendapat persetujuan prinsip atau izin penyelidikan pendahuluan, yang diakui dan tetap diproses perijinannya tanpa melalui proses lelang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Didasari pengaturan tersebut beberapa pengusaha baik secara perorangan ataupun badan hukum mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 kepada Mahkamah Konstitusi dengan registrasi Nomor 759.121/PAN.MK/IX/2009 tanggal 11 September 2009.

       Didasari ketiga syarat tersebut hukum dapat mendorong pertumbuhan perekonomian, dalam hal ini sektor pertambangan yang dalam skema penerimaan negara, sektor ini merupakan salah satu sektor yang diprioritaskan untuk dapat menjadi sektor yang mampu berkontribusi besar untuk membiayai pembangunan secara umum. Namun, sektor pertambangan yang menjadi sektor yang diharapkan mampu berkontribusi tersebut, dalam prakteknya terdapat beberapa persoalan yang secara umum merupakan bentuk ketidakmampuan penerapan ketiga syarat sebagaimana diuraikan sebelumnya.

       Permasalahan yang cukup kompleks dalam kegiatan penanaman modal di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dewasa ini cukup mengemuka diantaranya permasalahan divestasi saham atau modal. Salah-satu praktik pelaksanaan divestasi yang bermasalah, misalnya praktik pelaksanaan perjanjian kontrak karya antara Pemerintah Indonesia dengan PT Newmont NNT dalam eksplorasi tambah batuhijau di Nusa Tenggara Barat (NTB). Perjanjian kontrak karya yang sudah berjalan bertahun-tahun tersebut tiba-tiba menghadapai permasalahan yang disebabkan tidak terealisasinya kesepakatan mengenai klausula yang mengatur kewajiban divestasi setiap periode divestasi yang telah ditentukan dalam perjanjian kontrak karya antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont NNT. Imbas dari kejadian tersebut munculah sengketa antara keduanya, pemerintah menuding PT Newmont NNT wanprestasi, sementara Newmont Merasa tidak melakukan pelanggaran atas perjanjian mengenai divestasi.

       Sengketa antara Pemerintah Indonesia dengan PT Newmont NNT akhirnya harus diselesaikan melalui penyelesaian sengketa arbitrase di Majelis Arbitrase International yang diselenggarakan di Singapura pada tahun 2009. Hasil putusan arbitrase internasional tersebut memenangkan Pemerintah Indonesia dengan mengabulkan tuntutan pemerintah yang menuntut agar PT Newmont NNT mendivestasikan sahamnya sesuai dengan periode divestasi yang belum terlaksana.

       Putusan arbitrase yang memenangkan Pemerintah Indonesia terhadap PT Newmont NTT dalam pelaksanaannya tidak dapat direalisasikan secara cepat karena mengalami berbagai kendala, antara lain mengenai kesepakatan harga saham periode divestasi tahun 2008 yang belum disepakati antara pihak dan permasalahan pendanaan untuk membeli sahan yang akan didivestasikan. Permasalahan pendanaan tersebut dikarenakan Pemerintah Daerah NTB yang tidak cukup memiliki dana untuk membeli saham PT Newmont NNT sehingga untuk mengatasi persoalan tersebut dilakukanlah kerja sama antara pemerintah daerah dengan perusahaan BUMN dan/atau perusahaan swasta nasional. Perusahaan PT Aneka Tambang (ANTAM) berminat untuk melakukan kerja sama dengan Pemerintah Daerah NTB dalam divestasi saham. Namun, upaya kerja sama ini gagal karena persoalan mengenai persentase besaran sahamnya. Akhirnya Pemeritah Daerah NTB menyepakati untuk bekerjasama dengan perusahaan Bakrie.

       Divestasi saham asing yang secara sederhana diartikan sebagai jumlah saham asing yang harus ditawarkan untuk dijual kepada peserta Indonesia. Ketentuan mengenai divestasi saham asing ini secara yuridis normatif telah diatur dalam Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang mengatur bahwa pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional. Selanjutnya dalam ayat (2) menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai divestasi saham diatur dengan peraturan pemerintah.

       Kewajiban sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 112 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dalam prakteknya belum dapat diberlakukan secara efektif karena menimbulkan penolakan dari berbagai perusahaan pertambangan. Hal ini didasari oleh kendala semisal harga komoditas yang melambung tinggi apabila dilakukan divestasi karena pengaruh isu divestasi yang direspon pasar bursa dan juga kendala kesulitan pinjaman bagi perusahaan tambang dari perbankan apabila komposisi saham yang relatif kecil. Saham yang didivestasikan cenderung nilainya lebih mahal empat kali lipat dari harga sesungguhnya. Hal ini terjadi karena penilaian harga saham sudah menyertakan proyeksi keuntungan (discount rate), biaya investasi, dan harga komoditas jangka panjang. Dengan pola tersebut pemerintah seolah hanya mengganti biaya investasi (replacement cost) dan mengambil alih saham. Di satu sisi, Pemerintah atau pihak pembeli akan sulit membeli saham divestasi jika mengandalkan dana perbankan. Alasannya, pihak perbankan selaku pemberi pinjaman akan berpikir panjang dalam memberikan pinjaman untuk porsi saham yang relatif kecil.

       Terlepas dari polemik yang muncul dan berkembang, terdapat beberapa keuntungan dan kerugian dalam hal divestasi saham badan usaha asing kepada Pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/BUMD, dan swasta nasional. Sehingga menyikapi polemik tersebut harus diupayakan suatu formulasi hukum yang mampu mengatasi persoalan divestasi ini. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 belum mengatur secara jelas penyelesaian persoalan-persoalan yang timbul sebagai akibat dari kegiatan divestasi saham. Undang-Undang mengamanatkan agar permasalahan ini diatur lebih lanjut dalam peraturan Pemerintah. Untuk mengupayakan divestasi saham, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah harus memiliki power kuat dan bargaining potition yang tinggi dalam setiap perjanjian kontrak kerjasama penambangan di wilayah Indonesia, terutama dalam hal kesiapan pendanaan.

       Divestasi saham izin usaha pertambangan ke Pemerintah, pemerintah daerah, BUMN, atau dab/atau BUMD sebagai wujud kedaulatan dalam negeri dalam hal kegiatan usaha pertambangan sebagai upaya guna mewujudkan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya perlu diciptakan formulasi hukum agar divestasi ini dapat berjalan dan Pemerintah mampu mendorong supaya investor mentaati setiap peraturan yang ada, tanpa adanya affirmative hukum mustahil Indonesia akan mendapatkan keuntungan yang besar dalam kerjasama bisnis. Hal ini penting supaya masyarakat indonesia tidak merasa apatis terhadap investor asing yang masuk sehingga daya dukung sosial terhadap investasi / divetasi akan mengalami pertumbuhan dan kenyamanan investor lebih terjamin.

       Ekonomi moral yang tidak semata – mata rasional harus kita akaui sudah cukup melekat pada sistem nilai dan budaya bangsa Indonesia. Meskipun kita secara terbuka ingin mengikis habis sifat – sifat irrasional yang tercermin dalam efisiensi dan produktivitas yang rendah dalam perekonomian kita, pada akhirnya kita menghadapi  “tantangan” berupa moral ekonomi bangsa yang tidak sepenuhnya bersifat negatif. Dalam hati nurani kita sebagai bangsa masih selalu terselip perasaan was – was jangan – jangan pengambilan pilihan yang semata – mata rasional justeru akan merugikan dalam jangka panjang[56].

       Wawasan ekonomi Pancasila memberikan semacam pegangan kepada setiap pelaku ekonomi dalam melaksanakan misi dan tugasnya masing – masing, dalam upaya memajukan kehidupan ekonominya masing – masing, dalam upaya memajukan kehidupan ekonomi negara, bangsa dan masyarakat. Ideologi Ekonomi Pancasila adalah “aturan main”  yang mengikat setiap pelaku ekonomi, yang apabila dipatuhi secara penuh akan mengakibatkan tertib dan teraturnya perilaku setiap warga negara. Dan ketertiban serta keteraturan perilaku ini pada gilirannya akan menyumbang pada kemantapan dan efektivitas usaha perwujudan keadilan sosial[57].

       Etika Ekonomi Pancasila bersumber pada UUD 1945 khusunya pasal 33 sebagai sistem ekonomi kekeluargaan, dan pada Pancasila sebagai pedoman etik yang memberikan semangat dan gerak pembangunan nasional. Apabila wawasan ekonomi Pancasila sudah kita terima sebagai satu – satunya pegangan etik sistem dan kebijaksanaan pembangunan nasional, maka ia berubah menjadi acuan nasional yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara. Hadiah dan sanksi atas pelaksanaan atau pelanggaran aturan etik memang bersifat etik pula, yang pengawasannya tidaklah bisa dilakukan oleh aparat negara dan pemerintah saja. Pengawasan ini harus melekat pada hakekat moral masyarakat bangsa secara keseluruhan baik dalam kelompok – kelompok kecil maupun kelompok besar[58].

       Tujuan akhir Pembangunan Nasional Jangka Panjang (PNJP) adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara lebih lengkap pembangunan nasional harus mampu:

(1)   memajukan kesejahteraan umum;

(2)   memajukan kecerdasan kehidupan bangsa; dan

(3)   mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat[59].

4. KONSEP PENGELOLAAN PERTAMBANGAN

       Persoalan  sangat mendasar dan mendesak  yang menjadi tanggung jawab pemerintah  beserta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini adalah pelaksanaan kebijakan hilirisasi mineral. Kebijkan tersebut berkaitan dengan amanat undang – undang Minerba yang telah disahkan tanggal 12 Januari 2009, yang menyatakan bahwa perusahaan tambang mineral harus melakukan pengolahan dan pemurnian lima tahun setelah undang – undang Minerba dinyatakan berlaku. Sesuai ketentuan mengenai tenggang waktu yang disebutkan dalam undang – undang tersebut, maka saat ini (terhitung tanggal 12 Januari 2014) klausul undang – undang tersebut imperative harus dilaksanakan. Dengan pengertian lain, setelah lima tahun undang – undang Minerba tersebut dinyatakan berlaku maka tidak boleh lagi ada ekspor barang mentah (raw mineral), semua produk tambang mineral dan batubara harus diolah.

Pemerintah harus melaksanakan undang – undang Minerba secara konsisten, karena baik untuk kepentingan negara. Kemanfaatannya bagi negara adalah akan ada pengendalian ekspor dan produksi, akan ada nilai tambah, serta pelestarian lingkungan akan lebih dapat dikendalikan. Akan tetapi, pemerintah juga harus mempertimbangkan ketahanan perekonomian nasional, berkaitan dengan pemberlakuan UU Minerba tersebut.

Namun sampai saat ini pemerintah belum mempersiapkan peraturan organik (peraturan pelaksana dari UU Minerba tersebut baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Menteri (Permen). Peraturan lorganik tersebut diharapkan dapat menakomodir kepentingan perusahaan tambang termasuk pemegang Kontrak Karya (KK). Diharapkan, kebijakan hilirisasi yang akan ditetapkan dalam peraturan organik tersebut  menegaskan hal – hal antara lain: pertama, konsistensi pemerintah melaksanakan UU Mineral dan Batubara tersebut;  kedua, terhitung tanggal 12 Januari 2014 tidak ada lagi ekspor biji mineral; ketiga, pemerintah segera menyiapkan PP dan Permen yang mengatur perusahaan yang telah melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian.

Secara substansial, terdapat perbedaan mendasar antara UU No. 11 Tahun 1967  dengan UU No. 4 Tahun 2009, baik dalam hal penggolongan bahan galian, maupun dalam kaitannya dengan sistem pengelolaannya. Perbedaan mendasar tersebut dapat dilihat dari sisi muatan UU No. 4 Tahun 2009 yang lebih baik dari muatan UU No. 11 Tahun 1967. Materi muatan yang cukup baik dalam UU No. 4 Tahun 2009, diantaranya:

  1. Lelang wilayah potensi galian. Adanya ketentuan tentang lelang wilayah yang berpotensi mengandung bahan galian. Setiap perusahaanatau pihak yang akan melakukan pengusahaan bahan galian logam dan batubara khususnya, untuk dapat memperoleh konsesi pertambangan harus melalui proses lelang. Cara ini, dipandang sebagai suatu kemajuan dalam dunia usaha pertambangan nasional. Ada beberapa keuntungan sistem penetapan konsesi melalui mekanisme lelang, yaitu:
  2. Menekan timbulnya mafia izin tambang. Belakangan ini berkembang kecenderungan praktik – praktikjual beli konsesi tambang yang dilakukan oleh oknum – oknum tertentu yang biasanya mempunyai kedekatan atau akses dengan pemda, yakni hanya bermodalkan membayar retribusi izin memperoleh sejumlah konsesi, tetapi bukan untuk diusahakan, melainkan untuk dijual kembali. Mekanisme lelang diharapkan efektif dalam menekan praktik jual beli izin konsesi pertambangan yang selama ini terjadi. Praktik jual beli izin tambang mendorong tumbuh suburnya mafia pertambangan. Akibat tindakan ini, tidak sedikit pihak yang semula benar – benar berniat berusaha di bidang pertambangan menjadi korban penipuan yang secara finansial sangat besar jumlahnya.
  3. Media filter, hanya perusahaan yang benar – benar siap secara finansial, dan benar – benar berniat melakukan kegiatan usaha pertambangan yang akan mengikuti proses lelang, sehingga mekanisme lelang merupakan proses alamiah bagi perusahaan yang hanya bermaksud coba – coba atau hanya bertindak sebagai broker izin.
  4. Meningkatkan pendapatan negara. Melalui lelang, negara akan memperoleh dua keuntungan sekaligus, pertama memperoleh pemasukan bagi kas negara, kedua, memperoleh perusahaan yang secara kualifikasi memang siap untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan.
  5. Lebih akomodatif, yaitu dengan masuknya aturan yang berpihak kepada kepentingan rakyat, bandingkan ketentuan tentang pertambangan rakyat UU No. 11 Tahun 1967 dengan ketentuan yang tertuang dalam UU No. 4 Tahun 2009.
  6. Pertimbangan teknis strategis yaitu bahan galian lebih dkitentukan berdasarkan pertimbangan kepentingan nasional, bukan pada jenis bahan galian. Artinya, apabila suatu bahan galian secara teknis, ekonomis, kepentingan, dan dari sisi pertahanan keamanan negara keberadaannya strategis dan vital, maka pengelolaannya menjadi kewenangan negara / pemerintah.
  7. Adanya Pembagian Kewenangan pengelolaan yang jelas antara tiap tingkatan pemerintahan.
  8. Adanya upaya pengelolaan secara terintegrasi, mulai dari eksplorasi sampai penanganan pascatambang[60].

Kebijakan pemerintah mengenai hilirisasi yang mewajibkan perusahaan tambang mengolah hasil tambang di dalam negeri, menegaskan bahwa tidak boleh ada lagi ekspor mineral mentah.  Pelaksanaan  kewajiban pengolahan mineral di dalam negeri  akan memberi nilai tambah. Akan segera muncul pabrik – pabrik pengolahan mineral. Pabrik pengolahan mineral membutuhkan supply tenaga listrik yang banyak, sehingga batubara Indonesia tidak perlu lagi dijual  ke luar negeri. Dalam jangka penedek, pelarangan ekspor ini akan menimbulkan masalah dan kesulitan bagi perusahaan – perusahaan tambang seperti PT. Freeport, PT. Newmont, PT. Vale dan berbagai perusahaan tambang lainnya yang diizinkan mengekspor mineral mentah. Perusahaan – perusahaan tersebut harus membangun sendiri industri pemurnian dan pengolahan, atau menitipkan hasil tambangnya ke smelter lain.

Bila program hilirisasi yang digagas pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berjalan dengan lancar, maka di Indonesia akan muncul industri pengolahan dan pemurnian minderal di daerah – daerah yang selama ini kurang berkembang dengan baik. Di wilayah – wilayah tambang seperti Halmahera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara serta di berbagai wilayah penghasil mineral lainnya akan segera berdiri industri pengolahan dan pemurnian. Dengan sendirinya daerah – daerah yang selama ini tertinggal akan dapat merasakan kemajuan pembangunan ekonomi. Hadirnya industri pengolahan akan segera diikuti dengan munculnya prasarana lain bagi kepentingan masyarakat seperti sekolah, rumah sakit, pertokoan dan sebagainya, oleh karena daerah – daerah yang selama ini tidak berpenghuni akan didiami oleh banyak penduduk.

 Pemda sebagai pihak yang mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP), memiliki peran sentral untuk menjaga  lingkungan di area tambang dan sekitarnya. Keberadaan PP Nomor 75 Tahun 2001 Tentang Perubahan Kedua  Atas PP Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan UU No. 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan dan UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daearah memberikan kewenangan penuh kepada Pemda yang memunculkan euforia penambangan di daerah. Pemda seakan – akan lepas kendali dalam menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Berlindung di balik peningkatan pendapatan daerah, Bupati dan Walikota maupun Gubernur di wilayah yang memiliki potensi kekayaan alam berlimpah cenderung “mengobral”  menirbitkan IUP.

Pemertintah Pusat tidak mempunyai kendali dan pengawasan terhadap pengelolaan wilayah pertambangan. Berbagai persoalan pertambangan di Indonesia kemudian bermunculan. Salah satu masalah yang sangat krusial adalah masalah reklamasi lingkungan di area bekas pertambangan. Terutama pertambangan yang dikelola perusahaan – perusahaan kecil pemegang IUP.

Menurut Bupati Sumatera Barat yang juga merangkap sebagai Ketua Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Aplikasi, Zulkifli Mahadli, “Masih banyak pengusaha pertambangan yang tidak  melakukan kegiatan reklamasi paska  tambang secara benar dan tepat. Banyak yang belum melakukan sama sekali. Adapula yang sudah melakukan, tetapi tidak memenuhi standar dan prinsip – prinsip pengelolaan yang baik dan benar”[61]. “Padahal, reklamasi paska tambang merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh pemegang IUP dan IUPK, sebagaimana diatur dalam pasal  96 huruf (c) UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta pasal 2 ayat (1) Peraturan  Pemerintah No. 78 Tahun 2010 Tentang Reklamsi dan Pascatambang”[62].

Akibat diabaikannya kegiatan reklamasi paska tambang tersebut, pencemaran dan kerusakan lingkungan terjadi secara masif di daerah. Pemerintah Daerah sebagai pengawas belum sepenuhnya menjalankan fungsinya sebagai pemegang peranan (role playing) secara maksimal. Bahkan, Pemertintah Daerah belum memahami arti pentingnya kegiatan reklamasi lahan pasca tambang sebagai bagian yang integral dengan pembangunan berkelnjutan di daerah. Banyak daerah belum memiliki petugas pengawas pertambangan yang mumpuni. Kebijakan yang dibuat Pemda harus jelas dan tegas terkait reklamasi. Oleh karena, hal tersebut akan menjadi pedoman  pelaku  pertambangan untuk melaksanakan pemulihan lahan.

Pakar Agronomi IPB, Purwono, mengatakan bahwa Pemerintah Daerah memiliki peran sangat sentral untuk melakukan kontrol terhadap perusahaan dalam menyelenggarakan kegiatan reklamasi sesuai dengan rencana pascatambang. Pelaksanaan reklamasi merupakan perintah undang – undang yang wajib dilakukan, dan mendapat kontrol Pemerintah Daerah.  Namun belum semua daerah  memberi perhatian yang besar pada masalah lingkungan karena terbentur masalah politik. Memang  sejauh ini ada Kepala Daerah yang peduli dengan lingkungan, tetapi itu lebih karena latar belakang pekerjaan sebelum menjadi Bupati. Bupati yang dekat dengan petani  cenderung peduli lingkungan. Berbeda dengan yang berlatar belakang pengusaha. Mereka tidak terlalu peduli, karena lebih peduli pada pentingnya pendapatan daerah dan mengabaikan lingkunga[63].

Kebijakan legislasi yang ditetapkan memang memiliki beberapa permasalahan yang harus dicarikan pemecahannya (problem solving) secara bersama – sama antara pengusaha dan pemerintah. Regulasi yang ditetapkan dalam undang – undang mineral dan batubara mengharuskan (imperatif) perusahaan pembangunan smelter (pabrik pengolahan, peleburan dan pemurnian mineral) membuat infrastruktur lain seperti untuk transportasi dan energi, padahal lokasi pertambangan biasanya jauh dari perkotaan, bahkan mayoritas di luar Pulau Jawa. Belum lagi masalah harga energi, pajak dan bea keluar komoditi mineral logam. Oleh karena itu sinergi antara pemerintah dengan kalangan usaha menjadi faktor penting dalam pelaksanaan kebijakan hilirisasi.

       IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan dalam rangka pertambangan. Menurut Pasal 62 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba), IUPK Eksplorasi diberikan berdasarkan permohonan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau badan usaha swasta yang telah mendapatkan Wilayah Ijin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).

       Berdasarkan Pasal 78 Undang – Undang  Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara,  IUPK Eksplorasi sekurang-kurangnya wajib memuat:

  1. nama perusahaan;
  2. luas dan lokasi wilayah;
  3. rencana umum tata ruang;
  4. jaminan kesungguhan;
  5. modal investasi;
  6. perpanjangan waktu tahap kegiatan;
  7. hak dan kewajiban pemegang IUPK;
  8. jangka waktu tahap kegiatan;
  9. jenis usaha yang diberikan;
  10. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan;
  11. perpajakan;
  12. penyelesaian  perselisihan  masalah  pertanahan;
  13. iuran tetap dan iuran eksplorasi; dan
  14. amdal.

       Gerakan green marketing memang belum terlalu lama didengungkan, namun dampaknya sungguh dapat dirasakan di berbagai belahan dunia. Kesadaran akan pentingnya menjaga planet bumi, semakin keras dikumandangkan. Pimpinan negara – negara dunia berkumpul berkali – kali secara kontinu untuk membahas masalah ini. Isu global warming sekarang bukan hamya konsumsi bahan seminar. Konsep green biasanya mendapatkan image positif dari masyarakat dan dapat meningkatkan value perusahaan  di mata para investor.

____________________________________________________________________________________

[1] Siswono Yudo Husodo, Menuju Welfare State,  Jakarta, Penerbit Baris Baru,  2009, hlm. 58.

[2] Siswono Yudo Husodo,  Ibid,  hlm. 59.

[3] H. Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 80.

[4] H.R. Otje Salman, Anthon F. Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum,  Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2012, hlm. 103.

[5] H.R. Otje Salman, Anthon F. Susanto, Ibid, hlm. 105 – 106.

[6] Philipus M. Hadjon, dkk., Hukum Administrasi dan Good Governance, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2012, hlm. 74.

[8] S. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995, hlm. 82.

[9] Siswono Yudo Husodo, Menuju Wefare State, Penerbit Baris Baru, Jakarta, 2009, hlm. 65.

[10] [10] Siswono Yudo Husodo, Ibid, hlm. 66.

[11] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar – Pilar Demokrasi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 134 – 135.

[12] Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Penerbit Alumni, Bandung, 1981, hlm. 41.

[13] Kuntjoro Purbopranoto, Ibid, hlm. 41- 42.

[14] Mc. Iver, Jaring – Jaring Pemerintahan, Penerbit Aksara baru, Jakarta, 1981, hlm. 101.

[15] Delly Mustafa, Birokrasi Pemerintahan, Penerbit CV. Alfabeta Bandung, Bandung,   2013, hlm.4

[16] Maria S.W. Sumardono, Nurham Ismail, dkk. Pengaturan Sumber Daya Alam di Indonesia antara yang Tersurat dan Tersirat, Penerbit Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2011, hlm. 212.

[17] Maria S.W. Sumardono, Nurham Ismail, dkk., Ibid, hlm. 213.

[18] Maria S.W. Sumardono, Nurham Ismail, dkk. Ibid, hlm. 214.

[19] Gatot Supramono, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hlm. 172.

[20] Gatot Supramono, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hlm. 8.

[21] Gatot Supramono, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hlm. 8.

[22] Gatot Supramono, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hlm. 8 – 9.

[23] Ready Advancer, Reklamasi Masih Sebatas Slogan, The Indonesian Energy & Mining Tambang, Penerbit PT media Bakti Tambang, Jakarta, Volume 8 No. 103, Januari 2014, hlm.49.

[24] Ready Advancer, Ibid,  hlm.49.

[25] Reksohadiprodjo,  Sukanto, Pradono, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Energi, Tanpa Penerbit, Yogyakarta, 1988, hlm. 159 – 160.

[26] Gatot Supramono, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hlm. 1.

[27] Moh. Kusnardi, Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Penerbit Gaya Media Pratama, Jakarta, 2008, hlm. 228.

[28] Moh. Kusnardi, Bintan R. Saragih, Ibid, hlm. 229.

[29] Dedi Soemardi, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Penerbit IND – HILL – CO, Jakarta, 1987, hlm. 31.

[30] Soediman Kartohadiprodjo, Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, Bandung, 1969, hlm. vii.

[31] Soediman Kartohadiprodjo, Ibid, hlm. 44.

[32] Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2012, hlm. 109.

[33] Bahder Johan Nasution, Ibid , hlm. 109.

[34] Darji Darmodiharjo, Pancasila dalam Beberapa Perspektif.  Penerbit Aries Lima, Jakarta, 1983, hlm. 89.

[35] Darji Darmodiharjo, Ibid, hlm. 89.

[36] Bahder Johan Nasution, Ibid , hlm. 81 – 82.

[37] Dedi Soemardi, Opcit, hlm. 47 – 49.

[38] A. Hamid S. Attamimi, Pancasila Cita Hukum dalam Kehidupan Bangsa Indonesia, Penerbit BP – 7 Pusat, Jakarta, 1991, hlm. 71.

[39] A. Hamid S. Attamimi, Ibid, hlm. 72.

[40] Padmo Wahjono, Pancasila sebagai Ideologi dalam Kehidupan Ketatanegaraan, Penerbit BP – 7 Pusat, Jakarta, 1991, hlm. 90.

[41] Moerdiono, dkk., Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Penerbit BP – 7 Pusat, Jakarta, 1992, hlm. 239 – 240.

[42] Moerdiono, dkk., Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Penerbit BP – 7 Pusat, Jakarta, 1992, hlm. 240 – 241 .

[43] Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Penerbit Universitas Indonesia (UI – Press), Jakarta, 1983, hlm.5

[44] Purnadi Purbacaraka, A. Ridwan Halim, Hak Milik, Keadilan dan Kemakmuran Tinjauan Falsafah Hukum, Penerbit Ghalia Indonesia, 1982, hlm. 11.

[45] Purnadi Purbacaraka, A. Ridwan Halim,  Ibid, hlm. 19.

[46] Purnadi Purbacaraka, A. Ridwan Halim,  Ibid, hlm. 19.

[47] Purnadi Purbacaraka, A. Ridwan Halim, Hak Milik, Keadilan dan Kemakmuran Tinjauan Falsafah Hukum, Penerbit Ghalia Indonesia, 1982, hlm. 65.

[48] Gatot Supramono, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hlm. 171.

[49] Gatot Supramono, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hlm. 171.

[50] Ferry  Aries Suranta, Penggunaan Lahan Hak Ulayat Dalam Investasi Sumber Daya Alam Pertambangan di Indonesia, Jakarta, Media Online, diakses pada hari Minggu, pukul 12.00, tanggal 23 Maret 2014.

[51] Nandang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia, Penerbit Pustaka Yustisia, Jakarta, 2013, hlm. 34 -35.

[52] Nandang Sudrajat, Ibid, hlm. 37.

[53] AP  Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1989, hlm. 3.

[54] H. Salim HS, Hukum Pertambangan Mineral & Batubara, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 57.

[55] H. Salim HS, Ibid, hlm. 59.

[56] Moerdiono, dkk., Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Penerbit BP – 7 Pusat, Jakarta, 1992, hlm. 247.

[57] Moerdiono, dkk., Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Penerbit BP – 7 Pusat, Jakarta, 1992, hlm. 247 – 248.

[58] Moerdiono, dkk., Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Penerbit BP – 7 Pusat, Jakarta, 1992, hlm. 248.

[59] Moerdiono, dkk., Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Penerbit BP – 7 Pusat, Jakarta, 1992, hlm. 248.

[60] Nandang Sudrajat, Opcit, hlm. 73 – 75.

[61] Zulkufli Muhadi, Reklamasi Masih Sebatas Slogan, The Indonesian Energy & Mining Tambang, Penerbit PT media Bakti Tambang, Jakarta, Volume 8 No. 103, Januari 2014, hlm.22.

[62] Zulkufli Muhadi, Ibid, hlm. 23

[63] Purwono, Reklamasi Masih Sebatas Slogan, The Indonesian Energy & Mining Tambang, Penerbit PT media Bakti Tambang, Jakarta, Volume 8 No. 103, Januari 2014, hlm.23.

Writer and Copy Right:
Dr. Appe  Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant

 

Leave a Reply