FENOMENA STATUS KEWARGANEGARAAN DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA

A Green Card lying on an open passport, close-up, full frame

FENOMENA STATUS KEWARGANEGARAAN DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA

 

Secara umum dapat disimpulkan bahwa untuk  adanya suatu negara maka harus dipenuhi unsur – unsur sebagai berikut:

  1. Adanya Rakyat/Penduduk/Warga Negara;
  2. Adanya Wilayah/Kawasan/Teritorial;
  3. Adanya Pemerintahan yang berdaulat.
  4. Adanya Pengakuan, yang dapat berupa: a) Pengakuan Secara De Facto yaitu pengakuan berdasarkan pada fakta yang sudah memenuhi syarat rakyat, wilayah dan pemerintah yang berdaulat, b) Pengakuan secara De Jure yaitu atas eksistensi suatu negara berdasarkan hukum internasional.

Sedangkan Wallace S Sayre dalam bukunya yang berjudul  “American Government” (1966) mengemukakan suatu teori elementer yang menjelaskan mengenai syarat – syarat pembentukan atau berdirinya suatu negara, yang meliputi:

  1. Rakyat (people);
  2. Wilayah (territory);
  3. Kesatuan (unitary);
  4. Organisasi politik (political organization);
  5. Kedaulatan (sovereignty);
  6. Ketetapan (permanence);

Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka perlu dipahami bahwa  Pembukaan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Mukadimah UUD 1945) adalah merupakan acuan dan rumusan pokok pembentukan atau berdirinya negara Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam aline ke – IV (Keempat) yang berbunyi: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradad, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Merujuk pada deskripsi diatas, terutama makna yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, maka dapat dipahami bahwa anasir fundamental dari pembenetukan atau berdirinya suatu negara adalah “rakyat” atau “warga negara” atau “penduduk” (people/society), apalagi bila dihubungkan dengan teori yang menyatakan bahwa dasar berdirinya atau pembentukan suatu negara adalah adanya Perjanjian Sosial (Social Contract).

Pengertian mendasar sebagai pedoman dapat diintodusir bahwa rakyat yang menetap dalam suatu wilayah tertentu dalam hubungannya dengan negara disebut Warga Negara. Setiap warga negara  mempunyai kewajiban – kewajiban terhadap negara, dan sekaligus memiliki hak – hak  yang wajib diberikan, dilindungi dan dijamin oleh negara. Dalam konteks ini secara umum kewajiban – kewajiban dan hak – hak warga negara dirumuskan secara eksplisit dalam Konstitusi (di Indonesia termaktub dalam  Undang – Undang Dasar 1945) dan peraturan – peraturan organik lainnya seperti  Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Secara prinsip, hal mendasar  berkaitan dengan wacana bahwa “WARGA NEGARA SEBAGAI SUATU SYARAT UTAMA ADANYA NEGARA” dikaitkan dengan ketentuan Pasal 27 Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan: ayat (1) Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia; ayat (2) Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan  adalah apakah seseorang dapat kehilangan status kewarganegaraannya sehubungan hak – hak politik yang dianut atau dijalankannya? Bagaimana pula status kewarganegaraan seorang anak yang lahir di luar wilayah NKRI, akibat sikap politik orang tuanya yang meninggalkan negara Indonesia?

Negara Indonesia telah meratifikasi piagam  “Deklarasi Universal Tentang Hak – Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights”, sehingga sebagai negara peserta maka negara Indonesia harus mematuhi dan tunduk pada pernyataan yang termatub dalam piagam tersebut. Pada Pasal 2 alinea Kedua Deklarasi tersebut dinyatakan,”Selanjutnya tidak akan diadakan perbedaan atas dasar status politik, hukum ataupun status internasional dari negara atau wilayah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah – wilayah perwalian (trust), jajahan atau yang dibawah pembatasan lain dari kedaulatan”.  Ketentuan yang paling menarik untuk dibahas adalah yang termaktub dalam Pasal 14, yang berbunyi: ayat (1) Setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan; ayat (2) Tidak seorangpun dengan semena – mena dapat dikeluarkan dari kewarganegaraannya atau ditolak haknya untuk mengganti kewarganegaraan.

Deskripsi ilmiah tersebut semakin relevan untuk dikaji apabila dihubungakan dengan asas pokok dalam ilmu ketatanegaraan yang secara umum membedakan 2 (dua) macam asas kewarganegaraan yaitu: 1) ASAS IUS SOLI (ASAS DAERAH KELAHIRAN) yaitu asas yang menentukan bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya; 2) ASAS IUS SANGUINIS (ASAS KETURUNAN) yaitu asas yang menentukan bahwa status kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan keturanan atau kewarganegaraan orang tuanya.

Pembahasan komprehensif mengenai fenomena yuridis berkaitan dengan pertanyaan Apakah seseorang dapat kehilangan status kewarganegaraannya sehubungan hak – hak politik yang dianut atau dijalankannya? Bagaimana pula status kewarganegaraan seorang anak yang lahir di luar wilayah NKRI, akibat sikap politik orang tuanya yang meninggalkan negara Indonesia? menjadi penting pula apabila dihubungkan dengan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 tersebut menyatakan “Warga Negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang – undangan”. Sedangkan . Pasal 1 angka 2 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006  menyatakan “Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara”.

Pada hakekatnya  negara Indonesia tidak secara eksplisit menegaskan apakah menganut asas IUS SOLI atau asas IUS SANGUINIS, sebagaimana dapat disimpulkan dari Pasal 4 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006, yang dengan tegas menyebutkan:

Warga Negara Indonesia adalah: a. setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang – undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia; b. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia; c. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing; d. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia; e. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut; f. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia; g. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia; h. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin; i. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;  j. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui; k. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya; l. anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan; m. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia”.

Berdasarkan uraian pada Pasal  4 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006 maka dapat ditarik suatu conclusie bahwa pada prinsipnya asas – asas yang dianut dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2006 adalah sangat bervarian yang secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Asas Ius Soli (Law of The Soli) adalah  asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran. Dengan perkataan lain asas ini menegaskan pengakuan kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran dan berlaku terbatas pada kewarganegaraan anak-anak. Jika ada seseorang dilahirkan di Indonesia, maka orang tersebut dapat menjadi warganegara Indonesia suatu saat sesuai keinginan. Begitu pula dengan pasangan warga negara Indonesia yang melahirkan anak di luar negeri, maka berdasarkan kelahiran, anaknya dapat disebut sebagai warga negara asing.
  1. Asas Ius Sanguinis (Law of The Blood) adalah penentuan kewarganegaraan berdasarkan keturunan/pertalian darah. Atau dengan pengertian lain dapat dikatakan  bahwa penentuan kewarganegaraan seseorang  didasarkan pada kewarganegaraan orang tuanya bukan berdasarkan negara tempat kelahiran. Dengan perkataan asas ini menegaskan pengakuan bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan  berdasarkan keturunannya. Jika salah satu dari orang tua  mempunyai kewarganegaraan Indonesia, menurut pernikahan yang sah, maka orang tersebut kelak bisa mendapatkan kewarganegaraan Indonesia.  Asas ini memberikan ruang terhadap semua pernikahan campur antara dua negara, agar anaknya dapat menjadi warga negara Indonesia.
  1. Asas Kewarganegaraan Tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang. Dengan perkataan lain asas ini menentukan bahwa setiap warga negara Indonesia tidak boleh mempunyai dua kewarganegaraan. Jika seorang lahir di luar negeri dari pasangan Indonesia, maka dia hanya boleh memilih satu kewarganegaraan. Setelah dewasa, harus memilih warga negara mana yang diinginkan. Jadi, dalam undang-undang tidak mengenal kewarganegaraan ganda atau bipatride. Karena bagi Indonesia, nasionalisme seseorang harus ditunjukkan dengan kewarganegaraannya. Jangan sampai suatu saat ada konflik kepentingan karena dua kewarganegaraan yang dimiliki.
  1. Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas adalah asas  menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006. Dengan perkataan lain asas ini  menentukan kewarganegaraan ganda hanya bagi anak – anak sesuai Undang-Undang yang berlaku. Setelah dewasa, maka anak akan menentukan. Kewarganegaraan yang dipilihnya. Ini terkait dengan kesetiaan terhadap Pancasila sebagai ideologi negara dan nasionalisme yang telah diuraikan di sebelumnya.

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 23 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006, dapat diketahui seseorang dapat kehilangan status kewarganegaraannya sebagai warga negara Indonesia, yang secara eksplisit diuraikan sebagai berikut:Warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan:  a. memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri; b. tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu; c. dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan dinyatakan hilang Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan; d. masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden; e. secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh Warga Negara Indonesia; f. secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut; g. tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing; h. mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya; atau i. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun terus-menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu berakhir, dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal Perwakilan Republik Indonesia tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan, sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan”.

Berdasarkan deskripsi diatas, maka dapat dipertegas bahwa seseorang tidak kehilangan status kewarganegaraannya oleh sebab pilihan politik atau sikap politiknya meskipun yang bersangkutan pergi ke luar negeri sesuai dengan kiblat politiknya mengikuti kelompok atau organisasi tertentu seperti  ISIS (Islamic State in Iraq and Syria) atau dalam bahasa Arab, kelompok ISIS dikenal dengan nama Al-Dawla al-Islamiya fi al-Iraq wa al-Sham. Alasan dari dalil (statement) tersebut adalah  ISIS bukanlah bentuk ANGKATAN BERSENJATA (TENTARA) dari suatu negara yang merdeka dan berdaulat, melainkan suatu organisasi yang di claim berbagai negara bahkan United Nations sebagai Kelompok Pemberontak  (syarat ini tidak disebutkan dalam Pasal 23 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2006). Dalil demikian semakin clear apabila dihubungkan dengan  ketentuan – ketentuan yang termaktub dalam Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia  dan Deklarasi Universal Tentang Hak – Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights.

 

 

Writer and Copy Right:
Dr.  Appe  Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate and Legal Consultant

 

 

News Feed